Kecemasan Mona semakin menjadi-jadi saat pagi ini, baru satu jam sejak jam masuk kantor, Fanya sudah memintanya pergi menemui Eros yang memang meminta waktu untuk bertemu dengan Mona. Setelah berpamitan dengan Jennifer yang entah kenapa malah tersenyum senang, Mona melangkah gontai meninggalkan ruangan menuju ke elevator. Mona menekan tombol naik dan beberapa saat kemudian, pintu elevator terbuka dan membuat Mona menahan napas karena seorang Direktur Umum dan Keuangan berada di dalamnya.
“Ayo, masuk. Mau ke lantai empat atau lima?” Melvin bertanya ramah, seraya menekan tombol yang menahan pintu elevator agar tetap terbuka.
Mona pasrah, dia melangkah memasuki elevator sambil berkata, “Terima kasih, Pak. Saya mau ke ruangan Pak Eros.”
Melvin mengangguk kecil. “Oh, Eros udah sampai, ya? Tumben. Biasanya siang.”
Mona tak menjawab gurauan Melvin tersebut hingga pintu elevator kembali terbuka, menandakan jika mereka telah sampai di lantai lima. Mona sedikit membungkuk sebagai tanda permisi kepada Melvin yang hanya merespon dengan anggukkan kepala. Melvin melangkah ke sisi kiri elevator, ruangannya memang berada di sana sedangkan Mona melangkah ke sisi kanan elevator karena memang di sana letak ruangan Eros, Direktur Operasional. Jika melangkah lurus dari elevator, ada tiga ruangan. Ada ruangan Komisaris, ruangan Direktur Utama dan ruangan Direktur Pengembangan. Di samping ruangan Direktur Operasional dan Direktur Umum dan Keuangan ada sebuah ruangan rapat yang bisa digabungkan untuk forum yang lebih besar.
Fanya sempat berpesan, jika ingin bertemu dengan Direksi di ruangannya, Mona harus meminta izin kepada Sekretaris yang memang duduk tepat di dekat ruangan Direksi. Mona menahan napas melihat Sekretaris Eros yang tengah memoleskan make up di wajah cantiknya. Sungguh, semua Sekretaris Direksi memang sangat cantik dan Mona curiga, untuk menjadi Sekretaris Direksi pastilah diutamakan kecantikan, baru kecakapan.
“Pagi, Mbak. Katanya, Pak Eros mau ketemu saya?” Mona bertanya kikuk. Dia tidak mengenal Sekretaris Direksi dengan baik, tahu namanya juga tidak.
Sekretaris dengan nametag bertuliskan Janeta tersebut berhenti memoleskan bedak di wajah putihnya. Dia menatap Mona dengan penuh selidik sebelum tersenyum ramah. “Monalisa, ya?”
Mona mengangguk cepat. “Iya, Mbak.”
“Jangan panggil Mbak. Panggil Jane aja, biar lebih akrab.” Janeta nyengir dan Mona mengangguk patuh. Janetan mulai memoleskan bedak lagi sambil berkata, “Masuk aja, Mona. Pak Eros lagi kosong, kok.”
“Makasih, ya, Mbak—eh, Jane, maksudnya.”
Janeta terkekeh dan mengangguk, sibuk memakai bedak lagi ketika Mona mulai mengetuk pintu ruangan Eros sebelum membuka pintu perlahan dan langsung disambut oleh suara berat, namun ramah seorang Eros Bennedict Delmar. Eros duduk tegap dikursinya, mengenakan kemeja hitam dengan satu kancing teratas yang terbuka. Dia bangkit berdiri dan menunjuk kursi tamu di hadapannya saat melihat Mona.
“Silahkan duduk, Mona.”
Mona mengangguk dan menurut duduk di kursi yang Eros maksud. “Terima kasih, Pak.”
“Kamu jangan pasang wajah kaku gitu, dong. Emangnya kamu pikir saya panggil kamu ke sini untuk apa?” Eros gemas sendiri melihat bagaimana pucat dan kaku wajah Mona hari ini, seperti tidak ada semangat di wajahnya padahal, kemarin-kemarin Mona terlihat sangat bersemangat.
Mona menggeleng. “Saya gak tahu, Pak. Tapi kalau saya melakukan kesalahan, saya mohon maaf. Saya gak bermaksud melakukan kesalahan dan saya janji akan bekerja lebih baik lagi.”
Eros terkekeh mendengar ucapan Mona tersebut. “Kata siapa kamu melakukan kesalahan, Mona?”
Mona sedikit mengangkat kepala. “Oh, saya bukan dipanggil karena melakukan kesalahan, ya, Pak?”

KAMU SEDANG MEMBACA
Diorama
RomansaKarena suatu hal, Tatiana Monalisa mengundurkan diri dari perusahaannya bekerja dan melamar pekerjaan di sebuah perusahaan yang tak pernah dia ketahui akan benar-benar berpengaruh dalam hidupnya.