31 | Singapura

4.9K 840 75
                                    

Seumur hidup, Mona mana pernah pergi ke luar negeri. Mona berasal dari keluarga sederhana dan bahkan harus belajar ekstra demi mendapat beasiswa sehingga, dia bisa melanjutkan pendidikan tanpa beban biaya dari orangtua. Mona bahkan ingat, dulu dia juga sesekali berdagang nasi goreng buatan sang Mama ketika masih duduk di bangku sekolah dasar.

Pesawat yang Mona dan tim tumpangi baru saja mendarat dan sekarang, Mona dan tim tengah berjalan menuju ke pintu ke luar bandara. Sepanjang perjalanan tadi, Mona duduk bersama seorang staf yang adalah anak buah Indra sementara, Indra duduk bersama dengan Axel di bangku depan Mona dan staf bernama Toni tersebut. Setidaknya, Mona tak merasa sepi atau canggung karena Toni tipikal orang yang banyak bicara, sama sepertinya.

"Ini pertama kalinya kamu ke Singapura, ya, Mon? Senang banget, kayaknya."

Mona menoleh dan nyengir kepada Toni, si pria berusia tiga puluh tujuh tahun yang mengaku sudah memiliki tiga orang anak. Mona mengangguk cepat. "Iya, Pak! Ini pertama kali aku ngehirup udara luar negeri!"

"Tapi gak ada bedanya, kan?"

"Iya, sih. Tapi lebih adem sedikit di sini."

"Kan masih di dalam bandara, Mon! Di luar, mah, sama aja!"

Mona tertawa seraya terus mengobrol sambil berjalan dengan Toni, ketika Axel dan Indra yang berjalan di depan mereka berdua tampak tengah berdiskusi serius mengenai apa yang akan mereka persentasikan.

Mereka berempat tiba di lobi dan sudah dijemput dengan dua mobil sedan mewah yang membuat Mona berdecak kagum. Supir dalam mobil itu melangkah ke luar dan membukakan pintu mobil untuk Axel. Axel hendak melangkah masuk, namun dia berhenti sejenak seraya berkata cukup tegas kepada Mona yang masih sibuk mengagumi mobil tersebut.

"Kamu ikut saya. Cepat!"

Buru-buru Mona mengangguk. Dia sempat melambaikan tangan kepada Toni dan Indra yang menaiki mobil berbeda dengan mereka sebelum menyusul Axel yang sudah masuk ke dalam mobil. Mobil baru melaju ketika sang supir sudah memastikan barang-barang yang Axel dan Mona bawa sudah berada semua di dalam bagasi.

Kata Toni tadi, jarak dari bandara ke hotel tempat mereka menginap dapat ditempuh selama setengah jam perjalanan normal. Wajar saja, Singapura jelas tidak memiliki kemacetan parah seperti di Jakarta.

Tak ada percakapan sama sekali antara Mona dan Axel. Mona tak keberatan. Sebisa mungkin dia mengalihkan pikirannya dengan melihat sisi kirinya, melihat dan mencoba mengabadikan pemandangan yang dilaluinya itu dengan baik. Mona suka Singapura dan mungkin Mona akan menabung ekstra untuk pergi ke sini, bersama Mama.

Pikiran Mona buyar seketika begitu merasakan sesuatu yang berat menyentuh pundaknya. Mona menahan napas melirik kepala Axel yang terkulai di bahunya, dengan mata yang terpejam, tapi Mona tahu Axel belum benar-benar tertidur.

Mona menghela napas perlahan dan dia berusaha setengah mati untuk tenang, tapi matanya malah menelusuri tiap sudut wajah Axel yang bersandar pada bahunya. Sungguh, Mona belum pernah melihat cowok yang memiliki lekuk wajah serta tubuh seindah Axel. Bahkan, mantan empat tahun Mona tak ada apa-apanya dibanding Axel. Mona heran sendiri, apa yang dia lakukan dulu selama empat tahun tiba-tiba lenyap dalam ingatan begitu bertemu dengan Axel.

Hanya karena seorang Axel Keanu Delmar.

"Kita baru ada meeting besok malam. Jadi, hari ini, sesampainya di hotel, jadwal kita free."

Kita? Aku sama kamu? Ciaelah. Mona ingin menertawakan pikirannya sendiri.

"Iya, Pak. Saya udah terima jadwalnya dari Bu Handayani via email." Mona menjawab antusias, sesekali melirik Axel yang masih mempertahankan kepalanya di pundak Mona, matanya juga masih terpejam.

DioramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang