05 | Cengeng

5.8K 917 55
                                    

Setelah berkutat selama hampir lima jam dengan tulisan tangan Jennifer yang sangat jelas sehingga sulit terbaca akhirnya, Mona pasrah dan benar-benar menangis karena tidak bisa membaca tulisan tersebut. Sudah lima menit Mona menangis dengan jari-jari tangan yang masih berkutat dengan keyboard, berusaha mengetik kata yang tertulis dan sebisanya dia baca.

Silahkan panggil Mona cengeng, tapi Mona jarang sekali menangis untuk hal-hal yang menurutnya tak harus ditangisi. Mona selalu menangis jika mendapat perlakuan yang melukai hatinya. Seceria-cerianya cewek itu, dia juga punya hati sensitif yang terkadang membuatnya terlihat sangat lemah. Bahkan tubuh Mona mulai bergetar bersamaan dengan tangisnya yang pecah karena gagal membaca tulisan Jennifer tersebut.

"Mama, Mona gak kuat kalau kayak gini," Mona berujar disela-sela isak tangisnya. Meskipun menangis, dia tetap melanjutkan kegiatan mengetiknya, entah bagaimana jadi laporan tersebut. "Mona salah apa harus dikerjain mulu sama Bu Jennifer? Kayaknya dia punya dendam kesumat sama Mona. Huaaa, Mama, Mona mau balik ke Malang aja."

Mona menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi tempatnya duduk. Wajahnya sudah benar-benar basah oleh air mata, tapi ada sisi lain dalam dirinya yang menahan Mona untuk tidak menyerah. Tetap saja, hatinya sedang sensitif dan Mona tak bisa menahan tangis. "Ini mau balik jam berapa kalau belum juga selesai? Deadlinenya aja nanti malam. Bisa-bisa Mona gak dapat kerja lagi, Mama!"

Tanpa Mona sadari, seorang Axel Keanu Delmar sudah berdiri menyandarkan punggung pada kusen pintu ruangan marketing dengan wajah yang kentara jelas menahan tawa melihat bagaimana kekanak-kanakan pegawainya yang satu ini.

Herannya, setelah mengadu kepada sang Mama yang entah bagaimana mendengar aduannya tersebut, si cewek berambut lurus dengan poni yang jatuh tepat di dahinya tersebut malah lanjut memainkan jari-jari di atas keyboard, tapi masih sambil terisak.

Tak tega akhirnya, Axel melangkah mendekati meja Mona dan sontak membuat Mona bangkit berdiri dan memasang ancang-ancang seakan Axel adalah sebuah ancaman untuknya. Mona menyeka air matanya, benar-benar memasang kuda-kuda layaknya seorang petinju handal.

"Kamu siapa? Ngapain di sini? Mau macam-macam, ya?! Kok, bisa lolos dari pengawasan satpam?!"

Axel terkekeh kecil, memasukkan tangannya ke dalam saku celana bahan berwarna cokelat yang dikenakannya. "Menurut kamu, tampang saya emang mirip tampang penjahat?"

Mona mengangguk. "Iya."

"Ganteng begini dibilang tampang penjahat?" Axel mengernyit heran.

Mona mengangguk lagi dan memasang wajah jahat. "Iya, tampang penjahat. Penjahat seksual."

Axel menganga mendengar apa yang Mona katakan tentangnya, menuduhnya penjahat seksual. Yang benar saja? Axel mana mungkin seorang penjahat seksual! Pacaran saja belum pernah. Sekalinya naksir cewek, pasti cewek yang dia taksir malah beralih menyukai kakak-kakak Axel dengan alasan Axel terlalu membosankan dan kelamaan memberi kepastian. Sedih, jika harus diingat.

Tangan Axel menarik asal kursi pegawai yang berada tepat di samping kursi Mona. "Kamu lagi ngerjain apa, sih? Mau saya bantu gak? Siapa tahu saya bisa bantu?" Axel beralih menatap Mona yang masih menatapnya was-was, cowok itu sedikit menyeringai, "Saya bukan penjahat seksual, sungguh. Kalau pun saya penjahat seksual, saya juga milih-milih korban. Badan kamu terlalu rata, gak menarik."

Mona mengendurkan sikap was-wasnya. Mona menarik napas dan menghelanya perlahan sebelum menunduk dan berkata, "Maaf, ya, Mas. Saya pegawai baru di sini. Belum begitu kenal pegawai-pegawai yang katanya dapat kerja di lapangan. Mas pasti salah satunya, ya?"

Axel mengernyitkan dahi. "Kok, kamu panggil saya 'Mas'?"

Mona menarik kursinya kembali dan duduk di sana dengan mata terfokus pada layar monitor. "Saya juga gak paham sama etika di kantor ini. Tapi empat hari bekerja, saya simpulkan kalau memanggil orangtua yang berusia di atas empat puluh tahunan dan memiliki jabatan itu dengan sebutan Bapak atau Ibu, selain itu disebut Mas atau Mbak meskipun gak semuanya keturunan Jawa."

DioramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang