16 | Basket

5.2K 863 20
                                    

Seperti Sabtu-Sabtu lain, apalagi yang Tatiana Monalisa harapkan selain tidur sepanjang hari. Rasanya sangat melelahkan bekerja dari Senin sampai dengan Jumat dan tak adil bukan, jika hanya diberi dua hari waktu untuk menghilangkan penat. Di kostan, Sabtu jelas bukan hari yang menyenangkan untuk mereka yang masih memiliki aktivitas di hari Sabtu, tak sebebas Mona di hari Sabtu.

Rio dan Reza selalu pergi bersama, kembali ke Bandung untuk menghabiskan akhir pekan bersama keluarga mereka. Rosa masih harus mengajar—dia seorang asisten dosen—sedangkan Jenny pasti pergi mengunjungi rumah orang tuanya ketika akhir minggu ke-dua dan ke-empat tiba, untuk melaporkan kuliah S2-nya kepada kedua orangtuanya.

Lalu, tinggallah Mona sendiri di kostan. Mendekam di kamar atau menonton drama Korea seharian. Selalu seperti itu meskipun, sebenarnya Mona berharap Rosa cepat pulang sehingga dia bisa mengajak Rosa pergi ke luar—minimal jalan-jalan cantik di mall atau nongkrong di Starbucks.

Mona mengubah posisi berbaringnya menjadi tengkurap dengan malas-malasan mengetik pesan kepada Rosa, meminta cewek itu untuk segera pulang.

Gue mau traktir, nih. Cepetan pulang! Gue kesepian😭

Setelah mengirimkan pesan itu, Mona menyandarkan wajahnya pada bantal dan meletakkan ponsel secara asal di atas ranjang tidurnya sampai tiba-tiba ponselnya bergetar dan sontak membuat wajah Mona berubah menjadi lebih sumringah. Mona meraih cepat ponselnya dan memicingkan mata mendapati sebuah pesan yang baru saja masuk. Bukan, bukan pesannya yang mencolok mata Mona, tapi pengirim pesan tersebut.

Cepat pulang?

Sial. Mona menahan napas sendiri melihat nama Pak Axel tertera di layar ponselnya. Tubuh Mona melemas dan pikirannya buntu begitu saja ketika kali ini, kontak bernamakan Pak Axel itu malah melakukan panggilan kepada Mona. Tangan Mona bergetar, tapi dia tak punya pilihan lain selain mengangkat panggilan tersebut.

"Pa—Pak, maaf. Saya salah kirim."

Sebuah kekehan terdengar. "Saya tahu, saya tahu. Tenang aja."

Mona menunduk pasrah. "Maaf banget, Pak. Tadi saya mau kirim ke teman saya, gak tahu gimana bisa kekirim ke Bapak."

"Gak apa-apa, tenang. Saya juga seperti dapat pencerahan waktu kamu salah kirim pesan. Kamu kesepian, kan?"

Sial. Mona memejamkan mata dan dia mengumpat dalam hati. "Ma—Maaf, Pak. Seharusnya saya kirim pesan ke teman saya, bukan Bapak."

"Gak apa-apa. Justru saya senang kamu SMS saya di saat yang tepat."

Satu alis Mona terangkat. "Maksudnya gimana, Pak?"

"Saya punya dua tiket Asian Games Basket 5x5 untuk hari ini , kebetulan teman saya batal ikut karena ada urusan. Kamu kesepian, kan? Mending ikut saya nonton pertandingan Basket."

Mona mengernyitkan dahi. "Nonton Basket? Sama...Bapak?"

"Iya."

Mona menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal. Bingung harus bagaimana. Oke, menonton Basket memang bisa membantu Mona menghilangkan kebosanan yang dia miliki sekarang, tapi bersama Axel? Sungguh? Dia sedang libur, kenapa harus menghabiskan waktu bersama seorang atasan di perusahaannya?

"Ah, iya. Bo—boleh, Pak, hehe." Mona benar-benar bingung harus melakukan apa selain menuruti Axel.

"Saya jemput satu jam dari sekarang, ya? Pertandingan mulai sebentar lagi masih babak penyisihan, sih, tapi kayaknya seru."

Mona mengerjap. "Di—dijemput, Pak?" Kikuk sendiri rasanya.

"Iya. Saya diantar Pak Rinto, kayak biasa. Dia, kan, pernah antar kamu pulang sewaktu acara di Depok, kan? Biar nanti berangkat ke GBK bareng. Saya antar kamu balik juga, deh, nanti."

DioramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang