26 | Jenny

4.5K 748 66
                                    

Ini adalah kali pertama Mona pergi ke sebuah pesta formal yang berisikan mereka dari kalangan menengah ke atas. Tangan Mona memegang lengan Melvin—Melvin yang meminta Mona melakukan hal itu karena katanya, memang itulah yang sebagian besar pasangan lakukan di pesta seperti ini. Sebisa mungkin, Mona untuk tidak menimbulkan masalah. Biar bagaimanapun, ini kali pertamanya dan Mona datang sebagai pasangan Melvin. Sungguh, dia sangat gugup tiap kali dia harus mengikuti Melvin yang berbicara kepada beberapa petinggi perusahaan lain.

Mona melotot begitu melihat salah satu orang yang dia kenal, tiba-tiba melangkah menghampirinya dan buru-buru Mona menunduk dan sedikit menyembunyikan wajahnya di balik lengan Melvin.

Kenapa ketemu Pak Samosir mulu di waktu yang gak tepat, sih?!

"Pak Melvin, apa kabar?"

Pria itu mengulurkan tangan dan Melvin menyambutnya ramah. "Pak Samosir, saya baik. Bapak sendiri gimana?"

"Saya baik juga, seperti yang Pak Melvin lihat." Perhatian Samosir beralih kepada Mona yang benar-benar menghindari tatap mata langsung dengannya. "Pak Axel juga datang? Bapak kenapa sama calon istri Pak Axel datangnya?"

Sial. Mona mengumpat dalam hati dan pasrah dengan apa yang akan terjadi saat jawaban dari Melvin justru membuatnya sedikit terkejut.

"Axel gak suka pesta, Pak. Kebetulan, tunangan saya gak bisa datang jadi, saya bawa calon adik ipar. Biar sekalian dikenalin ke yang lain. Nanti gak akan kaget kalau dapat undangan dari Axel dan Mona."

Samosir mengangguk. "Oh, begitu. Kalau begitu saya ke sana dulu, Pak Melvin. Senang bertemu dengan Anda lagi."

"Sama-sama, Pak."

Setelah memastikan Samosir pergi, Mona baru memberanikan diri mengangkat kepala dan sudah mendapati Melvin yang menatapnya lembut. "Saya punya teman di Yasuke dan dia cerita masalah kamu dan Pak Samosir. Kamu dan Axel kayaknya udah pernah ketemu dia terlebih dahulu, ya? Jadi, saya hanya meneruskan drama kalian, hehe."

Mona sedikit menundukkan kepala. "Maaf banget, ya, Pak. Waktu itu, keadaannya tertekan jadi, refleks Pak Axel ngomong begitu."

Melvin menyeringai. "Biasanya, sesuatu yang refleks itu jujur, loh, Mon."

Langkah Melvin kembali berlanjut dan Mona mengikuti, masih sambil terus mencoba menerjemahkan maksud ucapan Melvin tadi.

Setelah berkeliling menyalami para petinggi perusahaan lain, Melvin mengajak Mona duduk di sudut ruangan yang bisa dikatakan tak terjamah yang lain sehingga, mereka bisa berbicara tanpa pengganggu. Di hadapan Melvin, cowok itu sudah memesan sebotol bir, tapi belum ada niatan membuka bir itu dan menuangkan di gelas kecil yang ada di sebelahnya. Apalagi melihat bagaimana ekspresi was-was Mona sekarang.

"Nanti kalau saya mabuk, telepon Axel, ya, Mon? Minta jemput dia soalnya, saya kan, cuma datang berdua sama kamu. Gak sama supir."

Mona menatap Melvin yang mulai membuka botol dengan cemas. "I—Iya, Pak."

Apalagi memangnya yang bisa dia jawab. Memang terkadang, Mona bisa mendebat Axel, tapi untuk Melvin, Mona belum yakin. Mona tidak sedekat itu dengan Melvin. Ini bahkan sangat canggung saat dia datang ke pesta bersama Melvin.

"Saya lagi stress, Mon. Biasa, masalah cewek. Saya jadi ngerasa kalah sama Axel yang bisa dapat pengganti yang saya tahu lebih baik dari Cas." Melvin meneguk habis satu gelas kecil bir yang dituang.

Mona menahan napas melihat ekspresi Melvin yang seperti merasakan sesuatu yang aneh melintas di kerongkongannya. Melvin menghela napas dan menatap Mona lekat. "Kamu tahu, kan? Dulu, tunangan saya pernah punya hubungan spesial sama Axel. Tapi saya datang dan ngehancurin hubungan spesial mereka." Melvin melipat tangan di atas meja, "Sejak saat itu, sikap Axel sedikit berubah ke saya, apalagi ke Cas. Dulu, Axel sama Cas dekat banget kayak perangko dan mereka jadi yang pertama untuk satu sama lain. Sekarang, saling sapapun enggak."

DioramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang