15 | Teman

5.1K 896 47
                                    

Mona cemas setengah mati hari ini. Pukul sepuluh lebih lima belas tadi, Axel baru saja tiba di kantor dengan wajah datar atau tanpa ekspresi yang biasa dia tunjukkan. Tapi meski begitu, biasanya saat Mona menyapa, Axel setidaknya akan menghentikan langkah sejenak dan balas menyapa sangat singkat atau minimal menganggukkan kepala sambil melakukan kontak mata dengan Mona. Hari ini, cowok berusia dua puluh empat tahun itu melewati meja Mona begitu saja, langsung masuk ke dalam ruangan seperti tidak menganggap Mona ada.

Pak Axel masih marah gara-gara gue kemarin malah kelayapan ke apartemennya sama Pak Eros tanpa izin ke dia, ya? Kan, sama aja gue gak kerja kemarin karena Pak Eros malah ngajak ngobrol sampai sore setelah Pak Axel izin mau ketemu klien.

"Mbak Mona, ini kopi Pak Axel-nya."

Lamunan Mona buyar begitu mendengar suara tersebut. Mona tersenyum tipis kepada OB yang mengantarkan minuman pagi milik Axel dan meletakkan nampan berisikan cangkir kopi Arabica itu di atas meja Mona. Seperti hari biasanya, Mona bergantian membawa nampan tersebut ke dalam ruangan Axel walaupun, dia masih merasa tak enak karena kemarin.

"Kaleng kopinya taruh di kulkas kayak biasa, ya, Pak? Saya mau antar kopi ke Pak Axel."

"Siap, Mbak."

Mona menarik napas panjang dan menghelanya sebelum melangkah mendekati pintu ruangan Axel. Mona memejamkan mata sekilas, mengumpulkan keberanian, lalu mengetuk pintu beberapa kali. Selang beberapa saat, Mona membuka pintu dan melangkah memasuki ruangan Axel sambil berkata, "Permisi, Pak. Saya mau antar kopi Bapak."

Semakin frustasi Mona dibuat oleh cowok itu karena dia tak menjawab Mona sama sekali. Jangankan menjawab, dia mengabaikan Mona dan tetap fokus pada dokumen yang berada di atas mejanya. Bahkan dia benar-benar tak bereaksi apapun ketika Mona meletakkan kopi di meja dan menimbulkan sedikit dentingan saat kopi beradu dengan kaca meja kerja.

"Permisi, Pak."

Mona pasrah karena sikap Axel tersebut dan memilih untuk tidak mengganggu Axel dengan cara melangkah meninggalkan ruangan cowok tampan itu, namun suara Axel menahan langkah Mona yang baru ingin membuka pintu untuk ke luar.

"Lisa."

Jantung Mona seakan berhenti berdetak begitu mendengar suara Axel tersebut. Mona menahan napas sebelum berbalik dan Axel berujar lagi, "Saya mau bicara. Silahkan duduk."

Mona menurut, tentu saja. Dia berbalik lagi dan melangkah menarik kursi yang berhadapan dengan Axel yang mengecap sedikit kopi Arabica-nya. Mata cowok itu belum melirik Mona yang sudah duduk di kursi menundukkan kepala. Axel menarik napas dan baru mau buka suara saat Mona yang ternyata buka suara terlebih dahulu.

"Saya minta maaf soal kemarin, Pak. Saya diajak Pak Eros. Maaf, saya gak izin ke Bapak. Saya gak maksud buat pergi senang-senang di jam kerja, tapi saya benar-benar gak enak buat nolak ajakan Eros."

Satu alis Axel naik mendengar ucapan Mona yang masih menundukkan kepala, seperti takut menatap Axel. Axel menarik napas dan sedikit menarik sudut bibirnya. Dia menutup map berisi dokumen yang harus dia tandatangani sebelum melipat tangan di atas meja.

"Lain kali, kalau pergi ke manapun, izin ke saya sebagai atasan langsung kamu. Siapapun yang ajak kamu ke luar, mau dia Pak Eros atau Pak Melvin, atasan langsung kamu tetap saya, Monalisa."

Mona mengangguk, kepalanya masih tertunduk. "Iya, Pak. Siap. Saya janji gak akan kayak kemarin lagi."

Axel tersenyum sekilas. "Oke, oke. Kita lupakan kejadian kemarin, oke? Saya juga gak begitu mempermasalahkan kejadian kemarin. Kamu gak perlu ketakutan begini."

Perlahan, Mona mengangkat wajah hingga matanya bertemu dengan mata Axel. Jika boleh jujur, Mona akan mengakui ke dunia tentang betapa indah mata Axel yang seakan mempunyai mantra untuk membuat siapapun yang melihat itu dalam jangka waktu lebih dari lima detik, pasti tak akan bisa lepas darinya. Sebut Mona bodoh karena tak bisa lepas dari semua pesona yang Axel miliki. Biar bagaimanapun, Mona juga wanita normal yang mudah jatuh cinta pada seseorang yang memang memikat dan memaksa untuk dicintai.

DioramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang