The Chapter 40

864 114 9
                                    

Dellysa memandangi ruangannya dengan perasaan bingung. Ia melihat Alvord tertidur di sebelahnya.

"Alvord.."

Alvord membuka matanya. Ia tersenyum melihat Dellysa terbangun. Alvord menempelkan punggung tangannya pada dahinya.

"Baguslah. Demammu sudah turun."

Dellysa menyentuh dahinya sendiri. Ia kembali membaringkan badannya. Dellysa memejamkan matanya sebentar.

"Aku capek. Mereka akan terus begini padaku," ucapnya.

Dellysa meneteskan air matanya. Ia bertelungkup di bantal. Alvord dapat mendengar isakannya. Alvord mengepalkan kedua tangannya. Ia sendiri sangat marah apa yang telah dilakukan gadis itu. Bukan hanya padanya, tapi juga beberapa murid lainnya.

"Jangan menangis. Lysa yang kukenal tidak akan menyerah segampang ini."

Dellysa menatap Alvord. Ia mengusap air matanya. Dellysa kembali tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Dellysa bangkit dari kasurnya dan berpindah ke sofa di sebelahnya.

"Di dunia ilusi itu, kau melakukan apa?"

"Entahlah. Namun, sepertinya aku menvkba mengendalikan ilusi itu. Dan entah kenapa aku merasakan.."

Drllysa sedikit terdiam. Ia yakin merasakan sesuatu saat di dalam dimensi itu.

"Ada orang lain yang juga mengendalikan dimensi ilusi itu selain aku dan Fiora," sambung Dellysa.

Alvord terdiam mendnegarnya. Dalam pikirannya, hanya ada satu orang yang pasti bisa melakukkan selain mereka berdua dan Mr. Yerrow pastinya. Alvord mengambil jeruk dan mengupasnya. Ia melempar jeruk itu ke Dellysa.

"Abaikan saja yang lalu dan petgi istirahat."

***

-Dellysa's POV-

Aku merebahkan diri di kasur. Sungguh, aku sudah bosan selalu berada di UKS. Aku mengambil boneka kesayanganku dan memeluknya. Kutatap langit-langit kamar. Mencoba mengingat sesuatu yang kulupakan.

"Oh iya. Buku perpustakaan itu aku masih belum selesai membacanya," gumamku.

Aku pun menghampiri meja belajar. Aku pun mulai menyambung bacaan yang belum selesai.

"Dellysa.."

Aku menoleh dan mendapati Olivian berdiri di belakangku. Tatapannya tajam, tidak seperti biasanya. Aku pun berdiri.

"Ada apa Olivian?" tanyaku.

Olivian menatapku sebentar. Ia menatap lekat-lekat ke diriku. Kemudian ia memejamkan mata dan menghela napas.

"Tidak ada apa-apa. Mungkin hanya firasatku saja," ujarnya sambil memegangi kepala.

Olivian melempar badannya ke atas kasur. Aku menyambung kembali bacaanku yang terhenti. Olivian terbangun dan turut bergabung di sebelahku.

"Aku kira kau baca apa. Seharusnya kau baca buat persiapan ujian kenaikan," ucapnya menasihati.

"Aku dengar ujiannya lebih banyak dan susah dari pada sekolah-sekolah biasanya," sambung Olivian.

Mendengar ocehannya Olivian langsung membuat moodku turun. Buku itu kututup dan kujadikan bantal kepala. Ujian sekolah lamaku saja sudah sebanyak gitu. Apalagi di sini.

"Ingin cepat-cepat liburan," keluhku.

Olivian menganggukkan kepalanya bertanda setuju. Aku mengambil buku kimia, salah satu pelajaran yang tidak kusukai. Aku tidak menyukai pelajaran yang berhubungan dengan hitung-hitungan.

The Magic of MusicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang