Bab 1

217K 7.5K 146
                                    

"Christopher, ini luar biasa!" Desis Melani tak percaya. Kedua tumitnya yang terbungkus high heels warna coklat susu mengetuk nyaring ke tengah ruangan yang masih kosong.

Kami sedang berada di sebuah penthouse yang terletak di pusat kota. Aku memang membelinya sebagai hadiah pernikahan kami yang akan berlangsung beberapa bulan lagi.

"Aku sengaja masih mengosongkan tempat ini karena kamu pasti ingin mengisinya seperti keinginanmu. Kamu menyukainya, Mel?" Tanyaku mendekati tempat Melani berdiri.

Melani memutar tubuhnya ke arahku. Aku senang menemukan bola mata Melani berbinar. Aku tahu ia menyukai hadiahku.

"Ya. Tentu saja aku sangat menyukainya, Christopher. Aku sampai bingung bagaimana mengatakan rasa terima kasihku. Aku.. aku sangat beruntung menjadi tunanganmu. Walaupun sebenarnya, kamu tak perlu melakukan semua ini untukku. Sudah banyak hadiah yang kamu berikan padaku selama ini." Bisik Melani saat aku sudah berdiri di depannya.

"Aku selalu ingin melihat tunanganku bahagia." Punggung jari-jariku mengelus sisi wajah Melani sesaat. Ia tersenyum tipis lalu menunduk. "Ada apa?"

Aku menjepit dagunya dengan jari jempol dan telunjukku.

"Kita berdekatan seperti ini sudah membuatku bahagia, Christopher. Kamu juga 'kan?" Melani menengadah. Manik matanya menyelisik jauh ke dalam bola mataku seperti tengah mencari sesuatu.

"Yuk, kita melihat sisi lain dari ruangan ini." Aku mengalihkan mata sambil menggenggam telapak tangan Melani dan menariknya lembut untuk menjelajahi ruangan yang lain.



"Kamu baik-baik saja, Sayang?"

Suara mamaku terdengar halus namun berwibawa mengoyak kesadaranku. Aku menoleh ke arah mama yang duduk di sebelahku, dan menemukan bola matanya menyorot lembut disertai dengan genggaman kedua tangannya yang seolah ingin menyalurkan kekuatan padaku.

"I'm fine, Mam." Jawabku kaku pada wanita yang sudah melahirkanku ini. Mama tak perlu khawatir padaku.

Seolah paham maksudku, mama mengangguk dan membalasku dengan senyum penuh pengertian.

Depus angin siang membawa sedikit udara sejuk serta wangi bunga mawar di seputaran tenda di areal memorial park ini saat aku kembali memalingkan kepala. Dari balik kaca mata hitam yang aku pakai untuk menutupi perasaanku, aku menatap lagi peti mati berwarna coklat berkilap di hadapanku ini. Rasanya masih tidak percaya dengan apa yang sudah terjadi.

Siapa menyangka Melani harus pergi secepat ini?

Suara sedu tertahan membawa manik mataku bergerak menatap Keluarga Darmawan yang duduk berjajar di seberang peti. Ternyata isak itu berasal dari Nyonya Berta yang menyandarkan kepalanya di bahu suaminya, Tuan Reymon. Luka kesedihan tergurat jelas di wajah kedua calon mertuaku itu.

Sementara Danis, adik Melani, hanya duduk terpaku di sebelah papanya. Sedari tadi bola mata Danis tak beranjak memandang peti mati dimana kakaknya terbaring dalam tidur abadinya.

Andai Melani tidak keras kepala..

Lamunanku kembali melambung.

Sejak pertunangan kami diumumkan setahun yang lalu, berkali-kali aku sudah meminta Melani untuk tidak mengendarai sendiri mobil SUV Lexus hadiah pertunangan kami. Jadwal Melani cukup padat, tanggung jawab yang ia emban mengharuskannya sering bergerak ke beberapa lokasi setiap harinya.

[END] ChristopherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang