Bab 44

52.9K 3.3K 360
                                    

Haii.. hampir sebulan gue gak up date..

Sorii dunia nyata beneran menyita waktu gue

Semua sehat kan? Amiiinn

Pokoknya terus jaga kesehatan yak.. semoga cobaan buat bangsa kita cepet berlalu.. siip

Happy reading..

lumayan nih agak banyakan

=====================

Aku meluruskan punggung pada kursi kerjaku. Setelah internal meeting membahas pekerjaan dengan Meghan selesai, papa tiba di ruanganku beberapa menit kemudian.

Seperti yang sudah kuduga, papa membahas Singa Makmur dan tentu saja, Kevin!

Sepanjang pembicaraan kami, aku menahan mual pada perutku. Bayangan apa yang sudah Kevin lakukan pada istriku, mendorong kemarahanku hingga pada batas yang sulit aku toleransi lagi. Aku merasa begitu frustasi mendapati fakta kalau sahabat-sahabatku sendiri justru yang menginginkan kehancuran bahkan kematianku.

Meski papa mengatakan semua berkas tuntutan untuk Kevin sudah hampir selesai dan beliau sendiri sudah berdiskusi dengan Tuan Reymon, ia memastikan bahwa sahabatku tersebut bakal menerima ganjaran yang setimpal dengan tindakannya. Tetap saja berita tersebut tidak cukup mengangkat kemarahan yang terlanjur berkerak dalam jiwaku.

Namun saat aku menceritakan hasil temuan Detektif Jeremy tentang keberadaan Isabele di Jakarta, papa langsung marah besar. Ia merasa sudah dipecundangi Tuan Edward. Dengan wajah memerah menahan kemarahan, papa meraup ponselnya dari atas meja. Jemarinya bergetar sarat emosi saat menghubungi ayah Isabele. Beruntung aku bisa menenangkan dirinya.

Kami butuh kepala dingin guna menangkap Isabele dan menjeratnya secara hukum. Jangan sampai wanita itu mengetahui kalau dirinya sedang dicari atau ia akan semakin sulit diketemukan.

"Kamu sudah berbicara dengan Reymon tentang Isabele, Christopher?" Tanya Papa padaku. Melihatku tergeleng, beliau langsung menghela dadanya. "Apa yang membuatmu jadi bergerak lambat, Christopher? Reymon harus tahu situasinya segera. Kamu tidak tahu seberapa cepat Isabele bergerak bukan?"

Aku memandang papa miris, seolah ucapan kami bisa saling berloncatan keluar dari kepala kami.

"Charlie dan Nelson menjaga Ariana, Pap." Aku berdiri gugup dari kursiku. Melarikan kegelisahanku sendiri dari pandangan tajam papa. Dari balik kaca pada lantai 35, aku berdiri menatap gamang Jakarta di hari yang belum terlalu siang.

Aku memang berencana mengajak Ariana untuk mengunjungi rumah keluarganya pada akhir pekan ini setelah kondisi Ariana benar-benar sehat. Kami bisa bermalam di sana.

Aku berharap dengan berkumpul dengan orang tua dan adiknya, Ariana lebih bahagia dan bisa mempercepat proses pemulihan traumanya. Sebelum kami berangkat mengawali perjalanan bulan madu kami.

Terlihat seperti rencana yang sempurna. Mengapa hatiku tetap tidak merasa tenang?

Ekor mataku menangkap bayangan papa ikut berdiri dari kursinya kemudian merasakan sebuah tepukan lembut pada bahu kananku.

"Kamu fokus untuk menemukan Isabele, biar papa yang akan mengurus ayahnya."

Ini perintah. Artinya tidak ada tawaran lagi untuk papa. Aku hanya perlu mengangguk dan mengiakan saja.

"Baik, Pap."

"Papa pergi dulu. Masih ada urusan yang harus papa selesaikan dengan Steven." Tangan papa menepuk sekali lagi. "Mungkin papa akan pulang siang hari. Kita bisa lanjutkan pembicaraan ini pas makan siang bersama, Christopher."

[END] ChristopherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang