Bab 2

109K 6.6K 166
                                    

Aku bergumam memaki diriku sendiri saat membuka foto-foto pemakaman Melani yang diambil oleh Juan, sopir sekaligus pengawal pribadiku. Dan aku merasa sangat tolol setiap kali tanganku berhenti pada foto ini.

Sudah satu minggu ini, di sela-sela waktuku yang sangat sempit, aku selalu menyempatkan diriku untuk mengamati dan terus mengamati foto adik perempuan Melani ini.

Bodoh! Apa yang aku inginkan dari mengamati foto ini?

Bukannya segera menutup foto ini, aku malah semakin tertarik untuk mengamatinya lagi.

Walaupun secara candid, foto ini menampilkan wajahnya secara close up. Meski dalam kesedihan yang menggurat jelas, kedua bola mata itu tampil begitu memikat dan sangat dalam seakan melengkapi wajahnya yang datar dan misterius.

Aku menduga, ia pasti memiliki kepribadian yang tertutup.

Cerita konyol lain lagi yang kuyakin sebagai bentuk kebodohanku sendiri, terjadi ketika sekembalinya dari pemakaman Melani, Keluarga Darmawan meminta keluarga kami singgah di rumah keluarga mereka.

Hati kecilku masih berharap aku bisa melihat wajah itu sekali lagi di rumah Keluarga Darmawan. Namun, betapa kecewanya aku saat mengetahui dari Danis kalau ternyata kakaknya dari Bali ini tak mau keluar dan lebih memilih untuk mengurung dirinya di kamar.

Damn! Apa yang kuharapkan?

Aku beranjak dengan marah dan melangkah mendekati jendela berkaca lebar yang tersebar di beberapa sisi ruanganku. Berdiri di salah satu sisinya, mataku menerawang di atas panorama Kota Jakarta dari ketinggian lantai 35.

Adrenalin ini membuatku jadi bersemangat dan nyaris menggila sekaligus putus asa, semua teraduk menjadi satu sejak aku melihatnya. Aku belum pernah merasakan seperti ini sebelumnya, bahkan dengan Melani sekalipun.

Aku sudah terbiasa mendapatkan apapun yang aku inginkan. Aku memang punya talenta dan kekuatan untuk mengendalikan apapun dengan tanganku. Bisnisku, karyawan-karyawanku, rekananku, musuh-musuhku, termasuk juga wanita-wanita yang mendekatiku. Aku akan 'jalan' dengan mereka karena keinginanku bukan mereka. Tidak terkecuali dalam urusan pertunanganku dengan Melani.

Bukannya aku tidak tahu tujuan Tuan Reymon meminta Melani menikah denganku. Papa pun menyetujuinya. Dan menurutku, aku tidak keberatan dengan rencana papa dan Tuan Reymon.

Secara bisnis pernikahan ini juga menguntungkan Sagara Grup, ditambah pula Melani sangat cantik, cerdas ditunjang postur tubuh yang indah dan pastinya ia mencintai dan perhatian padaku.

Kupikir ia adalah kandidat terbaik sebagai calon istri dan ibu bagi anak-anakku kelak. So.. yeah, aku mengamini rencana para tetua bisnis ini.

Tapi apa yang terjadi denganku sekarang? Aku terjebak dan terjerat dalam pesona seorang perempuan yang baru pertama kulihat. Dia pasti tidak menyadari betapa aku sangat menginginkan dirinya sekaligus merasa tak berdaya karena tak bisa memilikinya.

Bagaimana mendapatkannya pun aku tidak tahu caranya..

Betapa menyebalkan! Siapa dia yang sudah berani melakukan ini padaku..?

Tak diundang, benakku membersit percakapan antara aku dengan Melani kira-kira setahun yang lalu walaupun aku lupa tepatnya di mana.



"Apa aku perlu ikut menemanimu pergi ke Bali?" Tanyaku. Melani menggeleng.

"Tidak perlu, Christopher. Aku hanya ingin menemui Ariana, adik perempuanku. Waktu di acara pertunangan kita, ia tidak bisa datang. Aku dan kedua adikku memang sangat dekat satu sama lain, jadi aku ingin mengunjunginya sekarang."

[END] ChristopherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang