Bab 39

43.8K 3.1K 212
                                    

Weeeey.. akhirnya release juga..

Pusing aku tu dapet tagihan mulu tiap hari

Ni.. hepi reading yak

================

Manik mataku menatap nanar daun pintu emergency room Rumah Sakit Metro. Pintu yang menutup angkuh itu seolah mentertawakan kebodohanku.

Ya, aku memang bodoh. Sangat bodoh.

Bagaimana mungkin aku melakukan dua kali kesalahan yang sama. Bahkan sekarang aku duduk di tempat yang sama. Bangku yang sama, penyebabnya pun masih sama.

Kebodohanku!

Bertumpu pada kedua lutut, tanganku meraup wajah lalu mengusapnya dengan kasar. Otakku berusaha mengelak rekaman ulang kejadian hari ini yang membuatku ingin muntah, namun pikiranku terus mengelana. Bayangan beberapa tahun silam kembali berloncatan keluar dari kotak memori kepalaku.

Kevin Gerda.

Evelin.

Aku tidak terlalu mengenal Evelin, nama belakangnya pun aku tidak tahu. Ingatanku hanya terbatas pada wajahnya yang cantik, sikapnya lembut dan ia adalah sahabat Kevin. Kami berkenalan secara tidak sengaja di sebuah restoran di California. Waktu itu aku bersama Isabele dan Evelin bersama Kevin. Lucu memang, dari situ aku baru menyadari kalau Evelin sudah mengenalku terlebih dahulu sejak di Indonesia, jauh sebelum aku bertemu dengannya. Aku tidak pernah mengira ternyata aku setenar itu.

Aku ingat beberapa kali kami berempat jalan bersama. Dari situ aku bisa menilai kalau Kevin begitu perhatian terhadap Evelin. Di mataku, perhatian seorang Kevin melebihi perhatian seseorang pada sahabatnya. Aku bisa sedikit meraba situasinya kalau Kevin sepertinya mencintai Evelin. Aku tidak tahu apakah Evelin memiliki getaran cinta yang sama dengan apa yang Kevin rasakan.

Sayangnya, kisah mereka selebihnya aku tidak tahu karena hubunganku dengan Isabele berakhir dan aku memutuskan untuk pulang ke Indonesia.

Hingga tanpa kuduga sama sekali, Evelin menghubungiku. Darimana Evelin bisa mendapatkan nomor ponselku, aku juga tidak tahu. Aku tidak punya petunjuk apapun saat Evelin mengajakku bertemu. Satu-satunya pikiran di dalam kepalaku saat itu adalah pertemuan ini pasti ada hubungannya dengan Kevin. Sehingga tanpa keraguan sedikitpun aku menjadwalkan begitu saja ajakan Evelin untuk bertemu.

Dari situlah malapetaka ini berawal.

Shit.

Setelah bertahun-tahun berlalu, meski samar dan jauh terpendam di dalam kepalaku, aku masih ingat wajah Evelin yang terluka tersenyum padaku.

Seharusnya Evelin paham, dia sudah mendorongku berada di tempat yang tidak seharusnya. Aku tidak mungkin menerima cinta yang sudah susah payah ia utarakan padaku malam itu.

Aku tidak mencintainya sama sekali, lagipula waktu itu keluargaku sudah merencanakan pertunanganku dengan Melani, ditambah lagi Evelin adalah sahabat Kevin. Tanpa Kevin bicara padaku, aku sudah tahu, ia mencintai Evelin!

Aku kembali menggosok wajah dengan kasar. Berusaha menggali kesadaran yang semakin lama kian membuatku frustasi.

Seharusnya aku menggarisbawahi fakta ini, wanita yang Kevin cintai malah menyatakan cintanya pada sahabatnya sendiri. Ditolak pula!

Aku sudah melukai dua orang sekaligus tanpa menyadarinya.

Bodoh. Bodoh. Bodoh.

Hanya sedikit saja yang kuingat setelahnya. Kalau tidak keliru, waktu itu Kevin menanyakan apakah Evelin menemuiku? Aku hanya mengiakan tanpa ada penjelasan apapun. Menganggap makan malamku dengan Evelin adalah peristiwa yang tidak penting untuk dibicarakan.

[END] ChristopherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang