Bab 20

59.3K 3.3K 87
                                    

Haaiiiiii...

Siapa yang kangen ma babang christop??!

Bukan.. bukan maksud daku php-in kalians.. suer loh.. yakin loh..

Nih aku kasih 2 bab sekaligus.. bukan nyogok.. asli na mang baek..

Happy reading... ncuuussss...

============================


Aku dan papa punya jadwal pertemuan rutin tiap minggunya. Sejak papa tidak aktif sebagai pengambil keputusan dalam bisnis Sagara Grup, ia mulai jarang menempati ruang kerjanya dan lebih memilih berkantor di rumah. Memposisikan dirinya sebagai advisor dan menghabiskan waktunya dengan mama. Seluruh urusan Sagara Grup diserahkan padaku dibantu Meghan sebagai tangan kananku.

Mengingat jadwalku yang sangat padat, biasanya Ivy dan asisten pibadi papa yang menentukan waktu pertemuan untuk kami berdua. Di hari dan jam yang sudah ditentukan papa selalu datang. Tidak pernah terlambat, malahan sesekali ia datang satu jam lebih cepat dan berkeliling untuk menyapa beberapa orang-orang yang dulu pernah bekerja di bawah kepemimpinannya.

Well, kami memang punya gaya yang berbeda.

Menyilangkan satu kakinya, papa duduk di sofa yang sama tiap minggunya. Selalu minta ditemani secangkir kopi hitam tanpa gula, papa fokus mendengarkan kalimat-kalimat yang meluncur dari bibirku tentang hasil pembicaraanku terakhir dengan Detektif Jeremy.

Seperti yang sudah kupahami, papa tidak pernah menyela bicaraku, hanya sesekali kepalanya manggut-manggut. Untuk ukuran seseorang dengan kapasitas seperti papa, membutuhkan kontrol luar biasa untuk berdiam diri menunggu hingga lawan bicaranya selesai.

Itulah kelebihan papa yang sangat kukagumi. Ia seorang pendengar yang sangat baik.

"Menurut papa, apakah aku harus menceritakan semua perihal pertemuanku dengan Detektif Jeremy pada Tuan Reymon?" Tanyaku pada akhirnya. Aku duduk di depan papa yang tengah tepekur dengan pertanyaanku. Dahinya mengernyit untuk beberapa saat.

"Papa ingin tahu, sebenarnya bagaimana persisnya hubungan sahabat-sahabatmu dengan Melani, Christopher?" Tanya papa balik tanpa menjawab pertanyaanku barusan. Tangan papa terulur untuk menyesap kopi hitamnya.

Aku tertegun sejenak mendengar pertanyaan papa, tidak menduga pertanyaan semacam ini yang ia lemparkan padaku.

"Maksud papa? Papa mencurigai Kevin dan Isabele, begitu?" Mataku menatap papa tak mengerti.

"Apakah papa mengatakan demikian, Christopher?" Papa memicing tajam ke arahku, kontan aku menggeleng dengan cepat. "Papa hanya ingin mengatakan, jangan biarkan satu lubang semutpun yang lolos dari pengawasanmu. Ingat anakku, semua orang bisa menjadi lubang itu."

Aku mengangguk setuju dengan pendapat papa, tetapi tidak seluruhnya, terutama mengenai Kevin dan Isabele.

Mereka sahabat baikku. Demi Tuhan.

"Menjawab pertanyaan papa tadi, sepanjang pengetahuanku, Kevin dan Melani berteman baik, Pap. Sedangkan Isabele, well, memang kadang-kadang setiap kali bertemu Melani sikap Isabele seperti seorang musuh."

"Menurutmu, apakah Isabele masih mengharapkanmu, Christopher?"

Aku membalas tatapan tajam milik papa, mencari tahu kemana arah pertanyaan papa. Namun aku tidak menemukan jejak apapun di sana. Wajah papa sangat serius.

Aku menggeleng sebelum mengeluarkan pendapatku.

"Tentu saja tidak, Pap. Apalagi aku sudah menikah sekarang." Kataku. Dan aku sangat mencintai istriku. Napasku berhembus pelan. "Kupikir, mereka berdua tidak punya motif apapun untuk mencelakaiku, apalagi Melani. Seorang Isabele tidak mungkin mau mempertaruhkan hidupnya untuk hal-hal bodoh, cinta misalnya."

[END] ChristopherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang