Bab 6

76.9K 5.2K 222
                                    

Nyang dah gak sabar si abang teleponan ma Ariana

Lunch bareng dulu yuksama nona rok sepantat.. wkwkwk

Happy reading..

--------------------------------------------------------


Sudah hari ketiga sejak kami berkunjung ke rumah Keluarga Reymon, tidak ada kabar sedikitpun dari mereka untukku. Kesabaranku sudah hampir mendekati ambang batas. Benar-benar menjengkelkan! Sangat menjengkelkan.

Meski ceruk hati kecilku yang terdalam mengakui, amunisi harapan yang aku simpan sejak awal pertemuan kami kian hari kian menipis.

Aku membuang nafas dengan kasar.

Oke. Aku akan memberikan waktu satu minggu untuk Ariana. Jika tidak ada kabar juga aku akan menjadwalkan pertemuan dengan Tuan Reymon, tentunya bersama Meghan dan pengacaraku.

Rencanaku selanjutnya adalah membeli saham Tuan Reymon secepatnya. Secepat itu pula aku harus membuang jauh-jauh wanita ini dari dalam diriku. Aku tidak ingin terus-menerus disandera oleh perasaanku sendiri. Nafasku terengah memikirkan hal ini.

Sabar. Gunakan otak bukan perasaanmu!

Sialan. Satu minggu!

Bagaimana aku harus melewati satu minggu ini? Sedangkan baru hari ketiga saja rasanya aku sudah menggila.

Apa yang sudah terjadi dengan Ariana hingga harus membutuhkan waktu selama ini?!

Bodoh! Tentu saja wanita itu butuh waktu untuk berpikir sebelum memutuskan apakah bersedia menikah dengan seorang pria asing sepertiku atau tidak.

Ya, aku sadar. Meski statusku adalah mantan tunangan kakaknya, tapi bagi Ariana aku hanyalah orang asing yang tak sengaja dipertemukan dalam sebuah momen pemakaman. Mungkin saja momen pemakaman itu adalah sebuah kesialan bagi Ariana karena orang asing ini justru malah tergila-gila padanya.

Aku memijit pelipisku sendiri, mendengus marah. Sembari jemariku meraih Mont Blanc yang ada di sisi tumpukan dokumen yang harus aku tanda tangani dengan segera.

Dering telepon mengganggu konsentrasiku. Melirik sekilas sebelum menarik gagangnya menempel di telingaku. Dari Ivy.

"Ya?!" Suaraku mungkin terdengar gusar. Namun detik berikutnya aku menyesal, tidak seharusnya Ivy menanggung kekesalanku saat ini. "Ada apa, Ivy?"

Aku mengurangi intonasi kasar dalam suaraku.

"Selamat siang, Tuan Christopher. Nona Isabele menanyakan menu apa yang anda inginkan untuk makan siang nanti. Saya akan menyiapkannya segera." Tanya Ivy hati-hati di telepon.

"Makan siang?" Desahku tak mengerti.

"Kemarin saya sudah bicara dengan tuan, siang ini Nona Isabele akan makan siang bersama anda di sini."

Oh? Aku baru ingat, Isabele akan datang siang ini. Gara-gara kekacauan perasaanku, aku malah sama sekali lupa dan tidak bernafsu untuk makan apapun siang hari ini.

"Terserah kamu, Ivy. Aku akan makan apapun yang kamu siapkan." Jawabku malas. Sayang sekali, makan tidak ada dalam prioritasku siang hari ini.

"Baik, Tuan Christopher. Tentunya anda tidak akan keberatan bukan kalau saya pesankan menu ayam untuk anda dan Nona Isabele?" Tanya Ivy sekali lagi.

"Ya. Tolong." Aku singkat saja menjawab, ingin buru-buru mengakhiri pembicaraan yang tidak menarik ini.

Aku meletakkan gagang teleponku dan kembali fokus dengan banyaknya dokumen yang harus aku tanda tangani.

[END] ChristopherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang