"Perihal terluka, aku yang paling utama."
****
Pagi ini Nasya datang sangat pagi dengan semyumam khasnya. Dia bahagia, senang, tidak bisa di di definisikan. Meskipun Nasya belum tahu, siapa yang berada di hati Nathan sebenarnya. Yang dia tahu adalah, setiap perjuangan pasti menghasilkan sesuatu yang tak dapat dilukiskan.
Saat Nasya berjalan, matanya menangkap sosok Nathan sedang berjalan dengan tatapan datar seperti biasanya. Nasya mensejajarkan posisinya.
"Hai, Kak!" Sapanya.
Nathan hanya meliriknya sekilas, tanpa membalas sapaan Nasya. Wajahnya kembali terfokus ke depan.
"Kak Nathan kenapa?"
"Kak Nathan kenapa?"
"Gak."
"Kemarin, Kak Nathan baik-baik saja."
Nathan hanya mendelik.
"Kak—"
"Lo bisa diam gak sih?!" Bentak Nathan.
Nasya terdiam, menunduk. Lalu perlahan mengangkatkan kepalanya lagi, memberikan sebuah senyuman tulus yang menyimpan berbagai luka.
"Kemarin—"
"Kemarin dan sekarang beda. Kemarin gua cuma bercanda." Ucap Nathan lalu pergi meninggalkan Nasya yang sedang berusaha mencerna perkataannya.
"Sebercanda itukah perasaanmu terhadapku? Jika kemarin hanya ilusi, maka tetapkan lah aku kesana. Tanpa kembali pada kenyataan yang sebenarnya." Satu bulir air mata lolos dari matanya.
Sejatinya lelaki adalah ia yang tak pernah membuat perempuan menangis. Tetapi, ini sudah berkali-kali Nasya menangis. Apa masih pantas Nasya memperjuangkan? Ia lelah, lelah dengan kehidupan yang membuat dirinya terpukul.
Nasya berlari tak tentu arah, ia terus berlari menaiki anak tangga menuju rooftop sekolah. Ia menangis sejadi-jadinya.
"Ayah, ibu. Nasya butuh kalian," Ujar Nasya dengan tangisan deras yang membasahi pipinya. Ia menelusupkan wajahnya di tangan yang menumpu lutut.
"Nasya ingin bercerita tentang pahitnya dunia,"
"Tentang pilu yang membuat Nasya rapuh,"
"Tentang dia yang membuat Nasya hancur."
"Ibu, ayah. Apa kalian tidak bisa kembali? Nasya butuh pelukan kalian, ibu kemana? Ayah kemana? Mengapa semua hilang, ibu dan ayah sudah lupa punya Nasya kah? Nasya rinduu.."
"Nasya rindu bercanda dan tertawa bersama kalian, kalian gak rindu kah?"
"Oh ayolah ayah, Ibu. Kembali lagi seperti dulu, Nasya mohon.." Nasya memegangi dadanya yang terasa begitu sesak, tangisnya begitu deras, meluapkan semua yang ia rasakan. Tertekan.
Tanpa Nasya sadari, sedari tadi Maura mendengarkan keluh kesahnya di balik pintu. Ya, dia memang mengikuti Nasya saat berlari. Dia menangis, karna sahabatnya begitu tertekan. Ternyata Nasya sangat pandai menyembunyikan lukanya dengan rapih. Bahkan senyumnya mampu membuat orang lain percaya bahwa dia adalah gadis paling bahagia.
"Lo sahabat gue yang paling kuat ya, Sya?"
"Sekuat apa lo bisa bertahan dalam masalah yang membuat lo lelah dengan kehidupan?"
Maura berjalan menghampiri Nasya yang masih terduduk menangis.
"Hebat ya Sya, lo hebat!"
"Pandai banget lo tutupin semuanya dari gue."
"Gue sahabat macam apa yang gak tau masalah sahabatnya sendiri!!" Maura menangis sejadi-jadinya.
Nasya mengangkat kepalanya, air matanya sudah ia hapus. Ia bangkit lalu menghampiri Maura. Dengan senyuman khas seperti biasanya.
"Loh Maura? Ko disini juga?" Ucap Nasya riang.
"Gue gak suka lo pura-pura seolah semuanya baik-baik aja."
Nasya tersenyum tulus, lalu perlahan membuka tangan Maura yang menutupi wajahnya, Nasya tahu bahwa Maura menangis.
"Jangan nangis." Nasya mengelap air mata Manda yang membasahi pipinya.
Maura dapat melihat jelas wajah Nasya merah karna habis menangis, tapi senyumnya tak pernah pudar.
Nasya menarik nafasnya dalam-dalam. Setidaknya sahabatnya ini selalu bisa membuatnya tenang kembali.
"Jangan nangis, lo jelek." Ucap Nasya di akhiri tawanya.
"Apasih!"
"Lo jangan bersikap seolah semuanya gak terjadi. Kenapa lo gak pernah cerita sama gue kalo lo sangat terpukul hah?!"
"Enggak kok, gue gak terpukul." Jawab Nasya seriang mungkin.
"Gak usah ngelak, lo pandai juga ya nutupin semua luka lo. Gue gak suka!"
"Lo itu punya gue, tapi lo gak anggap gue. Lalu apa gunanya gue sebagai sahabat lo!"
"Bukan gitu—"
"Terus apa?! Lo anggap gue sahabat atau enggak sih?! Kalo iya, seharusnya lo cerita sama gue upaya ngeringanin beban lo, walaupun cuma sedikit!"
"Iya iya maaf, mulai sekarang gue janji deh bakal cerita semua keluh kesah gue ke lo."
"Bagus! Mulai sekarang, gak usah bersikap seolah baik-baik saja di depan gue. Gue udah gak percaya sama fake smile lo itu!"
"Iya-iya, bawel."
"Gue pegang janji lo ya, awas aja sampe lo bohong lagi sama gue!"
"Iyaa-iyaa, Mauraku." Ucap Nasya lalu memeluk sahabatnya ini dengan erat.
Maura membalas pelukannya dengan erat.
"Makasih yaa Ra, lo udah mau jadi sahabat gue, dan nerima semua keluh kesah gue."
"Itu kan gunanya sahabat, sampai kapan pun juga bakalan tetep gitu."
Nasya tersenyum hangat.
Begitupun dengan 'sahabatnya'.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nasyaa
Ficção AdolescenteSaat senyum, adalah sebuah alasan bertahan dalam lara yang berteman. Sekedar kata hampa, rasa, dan peran utama. Sekedar pertemuan, kilasan, dan kalimat perpisahan. Tentang gadis tegar, kalimat penenang, serta segala putus asanya. Nathan Alvaro Melvi...