"Kini aku sadar, bahwa kamu adalah gadis terbaik yang pernah aku temui. Kamu adalah gadis yang tepat untuk, ku ajak berjuang bersama hingga akhir."
****
Hembusan angin pagi ini, berhembus menerpa wajah tampan yang kini tengah memejamkan matanya. Menikmati sedetik demi sedetik hembusan semilir angin yang begitu menyeruak. Tak ingin terlewat sedikitpun, bagaikan helaan nafas seseorang yang hingga saat ini masih setia mengelilingi ingatannya.
Hingga detik ini Nathan begitu merasa menjadi sosok paling bodoh. Bodoh, karena tak pernah mengerti hatinya sebenarnya untuk siapa dan tepat untuk siapa.
Rachel, gadis itu tetap ia anggap sebagai adik kecilnya. Bukan gadisnya lagi. Namun, gadis itu selalu saja menolak dan berfikir bahwa Nathan masih begitu mencintainya, padahal tidak. Sejak insiden beberapa tahun lalu cukup membuatnya terluka. Bertahun-tahun ia mencoba melupakan, hingga akhirnya perlahan ia dapat melupakannya. Tepat, pada saat kehadiran gadis itu. Gadis yang dapat membuat pikirannya berhamburan entah kemana, gadis yang dengan mudah dapat memasuki pikirannya. Berkeliling disana, yang membuat Nathan takut. Takut, jika hal lama kembali terulang, lagi.
Ia selalu menyanggal perasaan itu, hingga akhirnya Rachel kembali datang. Iya, cinta pertamanya yang begitu buruk. Kembali membuka sedikit demi sedikit ingatannya akan masa lalunya.
Ia selalu bingung. Sebenarnya ia mencintai Rachel atau Nasya? ia tak mungkin mencintai dua gadis sekaligus. Yang ia tahu, Nasya lah yang sukses mengambil setengah hatinya. Walaupun Nathan menyanggalnya dengan keras.
Nathan, ia sedikit egois jika menginginkan Nasya dan Rachel berada di sisinya.
Rachel? apa sebernya nama itu masih ada di hatinya?
Argh!
Kacau, pikirannya tak jernih. Hanya ada Nasya dan Nasyaa yang berkeliling di dalam pikirannya, tak ada hentinya.
Kini ia menyadari satu hal, ia hanya ingin menjaga dan melindungi Rachel. Bukan karena merasa Rachel gadisnya, namun ia merasa bahwa Rachel adalah adik kecilnya yang perlu ia lindungi.
Ia menyesal, untuk apa ia begitu keras menyanggal perasaannya? sebenarnya ia mencintai siapa?! Rachel atau Nasya? selalu pertanyaan itu.
Terlintas kembali wajah Nasya yang begitu menyebalkan ketika mengganggunya setiap hari tanpa henti. Dan wajah yang begitu menggemaskan ketika sedang merasa sebal.
Tolong, ia tak mau kehilangan wajah menyebalkan itu!
Apa dia, terlambat? Apa semuanya terlambat?
Nathan merasa ucapan Nasya kala itu adalah, Nasya berhenti untuk mencintainya. Sungguh, ia tak mau hal itu terjadi.
Nathan mengacak rambutnya frustasi. Seseorang datang, menepuk bahunya. Membuyarkan lantunan lamunannya.
Nathan merubah raut wajahnya yang terlihat frustasi, menjadi senyuman khas yang selalu ia berikan khusus untuk Rachel hingga detik ini.
"Ada apa?" Tanya Nathan.
Rachel menatap Nathan, ia tahu bahwa lelaki dihadapannya tengah tidak baik-baik saja. Terlihat dari wajahnya yang terlihat lebih kacau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nasyaa
Teen FictionSaat senyum, adalah sebuah alasan bertahan dalam lara yang berteman. Sekedar kata hampa, rasa, dan peran utama. Sekedar pertemuan, kilasan, dan kalimat perpisahan. Tentang gadis tegar, kalimat penenang, serta segala putus asanya. Nathan Alvaro Melvi...