"Kamu perlu belajar menghargai, seberapa pentingnya seseorang. Terkadang kehilangan akan membuatmu sadar bahwa bejuang, tak semudah mencintai."
*****
Sesuai dengan ucapannya tadi, kini Nasya tengah berdiri di samping motor sport milik Razan, yang terparkir dengan rapih di parkiran. Tak lupa, ia juga sudah berpamitan terlebih dahulu pada Maura. Tak masalah kan? Toh, Maura pasti akan pulang bersama gebetannya, Garda.
Dengan langkah seribu, ia langsung mengejar Razan yang sudah keluar kelas lebih dulu, mungkin tak ingin berlama-lama. Entah apa yang berada di pikiran gadis itu, hingga bertindak senekat ini. Mungkin demi pulang bersama, dan mengirit ongkos. Lumayan, dua ribu rupiahnya aman.
Nasya terus menerus melirik jam tangan hitam yang melingkar manis di pergelangan tangannya. Sejak tadi, ia terus mendengus kesal. Pasalnya sudah hampir setengah jam ia berdiri di samping motor Razan, sudah seperti tukang parkir yang berjaga saja. Tetapi, pemilik yang di tunggu-tunggunya entah kemana. Nasya sangat kesal, teramat kesal menunggu Razan yang sudah seperti menunggu sesuatu yang tidak pasti saja.
Perumpamaan, menunggu dia yang tidak pasti. Hm.
"Razan, kemana sih? perasaan tadi, dia yang pulang duluan. Tapi, gue yang sampe parkiran duluan." Gerutunya kesal.
"Apa, dia tikusruk di jalan ya? ah, gak mungkin juga sih."
"Atau, kebelet boker? Tapi, masa sih? Kan di toilet gak ada, sabun."
Nasya terus saja menggerutu kesal, hingga tak sadar bahwa yang sedari tadi ditunggu-tunggu, sudah berada di sampingnya dengan wajah sangat datar.
"Cewek, gila." Makinya.
Nasya langsung menoleh ke arah sumber suara, kini wajahnya yang semula di tekuk berubah menjadi sumringah. Padahal, lelaki di hadapannya ini sudah memasang ekspresi sangat datar. Memang ya, gadis ini sangat kuat mental.
Nasya tak memperdulikan makian Razan, ia hanya menyengir lebar dengan lesung pipi yang mendalam. Manis. Razan bergidik ngeri, apa gadis di hadapannya sudah gila?
"Ngapain lo?!"
"Yuk, kita jadi pulang bareng 'kan?" Katanya dengan riang.
"Gak!" Tolak Razan, mentah-mentah.
"Tapi 'kan, kita teman!"
"Sejak kapan?!"
"Sejak hari ini!" Pekiknya girang.
Razan tersenyum sinis ke arahnya, gadis di hadapannya ini sudah gila. Sudah jelas bukan, Razan sangat tak membutuhkan teman? Lalu, mengapa gadis itu tak mengerti-mengerti? Dasar, bodoh.
"Gua gak butuh, TEMAN!" Sentaknya.
"Gak mungkin, lo pasti butuh teman 'kan!"
"Gak, gua gak butuh teman! Dan gua gak mau punya teman kayak lo!"
"Kita teman, Razan!" Kekeuhnya.
"LO TULI HAH?! GUA GAK BUTUH TEMAN, SIAL!"
Bentakan tersebut cukup membuat nyali Nasya menciut seketika. Matanya menajam, menatap ke arah Nasya. Menyiratkan sebuah amarah. Rahangnya mengeras. Mungkin, akibat amarahnya yang tak terkenadali.
"Tapi.. gue cuma mau pulang bareng lo, Zan."
"Dan gua, GAK PEDULI!"
"Zan..."
"LO BISA STOP GAK SIH? SIKAP LO INI BENER-BENER BIKIN GUE, JIJIK!"
Bentaknya, kali ini bahunya naik turun. Menandakan bahwa emosinya sedang memuncak. Matanya memerah, mungkin saking sulitnya menahan emosi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nasyaa
Teen FictionSaat senyum, adalah sebuah alasan bertahan dalam lara yang berteman. Sekedar kata hampa, rasa, dan peran utama. Sekedar pertemuan, kilasan, dan kalimat perpisahan. Tentang gadis tegar, kalimat penenang, serta segala putus asanya. Nathan Alvaro Melvi...