"Mengenai siapa yang mencintai, akan disadarkan oleh yang di cintai."
****
Razan mengumpat kasar. Sebab, ucapannya mengenai setelah gadis itu terbangun dari pingsannya ia bebas menganggunya. Dan ternyata, ucapannya tersebut terkabul. Membuatnya menghembuskan nafas kasar berkali-kali.
Bagaimana tidak? setelah terbangun dari pingsannya tadi, gadis itu bukannya merasa lemas seperti orang sakit pada umumnya, tetapi malah terkesan tidak mau diam alias banyak tingkah.
Selama di UKS, gadis ini terus saja membeo tak jelas. Mulai dari menceritakan kartun kesukaannya, sampai pengalamannya yang pernah di ganggu oleh banci kaleng. Sungguh, itu membuat Razan frustasi.
Lengannya terus saja bergerak menoel-noel pipi Razan, hingga mengacak-ngacak rambut legam milik Razan. Razan tak menolak. Toh, ucapannya adalah do'a. Yang ia lakukan sekarang, hanyalah memejamkan matanya mencoba bersabar dan menahan amarahnya.
Razan merasa, ocehan gadis itu terhenti. Ia membuka matanya, gerakan gadis itu terhenti ketika matanya menatap nanar lengannya yang memar. Gadis itu menunduk, wajah cerianya seakan redup. Razan tahu alasannya, mungkin gadis itu masih tak percaya mengapa ayahnya sendiri tega menyiksa anaknya sendiri. Ayah yang seharusnya menjadi pahlawan bagi anaknya, menjadi tempat perlindungan anaknya.
Razan masih bergeming, tak berhenti menatap gadis di depannya ini yang tengah menunduk sembari memainkan gelangan tangan berbandul dua berwarna biru tua, melingkar manis di pergelangan tangannya.
"Kenapa?" Gila, suaranya cold banget.
Nasya mendongkak, kemudian tersenyum ceria ke arah Razan. Sifatnya telah kembali, mamen!
"Nasya sayang ayah. Dua hari lagi ulang tahun ayah yang ke 40 tahun, dan gue bakal bikin kejutan khusus untuk ayah!" Pekiknya menggebu-gebu.
Razan menatapnya datar, tak berminat mendengar celotehan Nasya kali ini. Meskipun sebenarnya ia tak mendengarkan seluruh ocehan tak bermutu Nasya, sih.
"Razan, teman gue kan? bantu gue bikin suprise untuk ayah. Mau kan?!"
"Gak."
"Zan, please."
"Sekali gak, ya enggak!" Oke, kali ini Nasya tak berani menggubrisnya.
Razan menghelas nafas panjang, gadis berambut panjang itu menunduk kembali. Ia tahu bahwa gadis ini sedang merajuk.
"Segitu sayangnya lo sama ayah lo?" Nasya menatap Razan dengan sendu.
"Tentu. Gue sangat sayang ayah, sampai akhir hayat gue. Dia pahlawan gue, tameng gue hingga gue beranjak usia. Maka dengan itu, gue akan selalu mengenang kapan lahirnya ayah gue. Gue sangat mencintai ayah gue, dari kecil hingga sekarang. Dia segalanya untuk gue, sama seperti ibu. Mereka gak ada duanya, top markotop deh!" Matanya berbinar kala mengucapkan kalimat tersebut.
Razan tertegun, spesies macam apa gadis di hadapannya ini? selain wajah yang sangat cantik, hatinya pun tak kalah lebih cantik.
"Dimana ibu lo?" Pertanyaan Razan kali ini benar-benar membuat hati Nasya mencelos seketika.
"Ibu sudah bahagia sama suami baru dan anak barunya. Jadi, gue gak boleh ganggu kebahagian mereka." Ujarnya, membuat Razan terbungkam.
"Oh iya, Zan. Nama lo Razan Ghifary Dirgantara 'kan? Razan mengangguk mengiyakan.
"Gue panggil lo ghifar ya? biar lebih cucok gitu, hehe."
"Gak."
"Ish, lo mah. Biar beda dari yang lain atuh, Zan." Jawabnya dengan kedua pipi yang sudah mengembung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nasyaa
Teen FictionSaat senyum, adalah sebuah alasan bertahan dalam lara yang berteman. Sekedar kata hampa, rasa, dan peran utama. Sekedar pertemuan, kilasan, dan kalimat perpisahan. Tentang gadis tegar, kalimat penenang, serta segala putus asanya. Nathan Alvaro Melvi...