*Play song: Pupus-Hanin Dhiya.*
"Kini, aku menyadari. Bahwa kehilanganmu adalah hal paling menyakiti."
****
Hari demi hari, Nasya lewati tanpa menyapa Razan sedikitpun. Terhitung, sudah hari ke tiga Nasya menjauhi Razan. Dan lelaki itu besikap biasa saja, acuh tak acuh. Semakin membuat Nasya uring-uringan sendiri.
Bagaimana tidak? sampai detik ini pun Razan belum mengajaknya bicara, sekedar menyapa. Dengan cara ini, ia di buat panik sendiri. Razan tenang-tenang saja, seolah tak terjadi apapun.
"Ra, ih gak tahan." Rengek Nasya.
"Tenang, tinggal empat hari lagi, kok."
"Gila aja, empat hari berasa empat tahun. Dan sampe sekarang, Razan gak ada tuh ngajak gue bicara."
"Selow sih, udah kayak cacing kepanasan aja lo."
Kini mereka sedang berada di kamar milik Maura, selama tiga hari itupun Nasya menginap di rumahnya. Ia sudah mengabari Bi Inem sebelumnya, dan pasti selama tiga hari ini ibu tiri Nasya sedang mencari keberadaan dirinya.
"Lo mah enak ngomong gitu, lah gue?"
"Yaudah sih, tahan aja. Seminggu ngejauhin dia, gak bakal bikin lo mati kok Sya." Gemas Maura.
"Ah, masa bodo. Gue mau tidur aja, bye!" Sebalnya, lalu berbaring di king size milik Maura.
"Yeu, kutu kupret."
Malam hari pun berganti dengan pagi hari yang sejuk. Dua gadis cantik, sudah bersiap berangkat menuju sekolahnya.
"Ayo, berangkat." Ujar Maura.
"Yuk."
"Bun, Maura sama Nasya berangkat sekolah dulu ya. Assalamualaikum, bun." Ucap Maura lalu menyalimi tangan ibunya, diikuti Nasya.
"Assalamualaikum, bun." Sahut Nasya.
"Waalaikumsalam, hati-hati ya sayang."
***Sudah tiga hari berlalu, nampaknya gadis itu benar-benar menjauhinya. Tapi apa alasannya? menyebalkan. Tidak ada lagi yang merusak moodnya, tidak ada lagi yang menggangginya, tidak ada lagi yang mengusiknya. Ada apa dengan gadis itu? Ia rasa ada sesuatu yang, hilang.
Tawa gadis itu ketika menjahilinya, hilang. Senyum gadis itu ketika ia menyakitinya, hilang. Raut khawatir gadis itu ketika ia terluka, hilang. Tidak ada lagi gadis ceria yang memaksa ingin menjadi temannya.
Apa gadis itu masih marah akibat perkelahiannya tempo hari?
Kini, Razan berjalan menyelusuri koridor. Kedua telinganya sudah terpasang earphone, sehingga tak mendengar pekikan histeris dari gadis-gadis yang mengaku penggemarnya.
Langkahnya terhenti ketika melihat seorang gadis sedang tertawa lepas dengan teman-temannya. Sungguh, ia rindu tawa itu.
Sudut bibirnya terangkat, membuat sebuah senyuman tipis. Sangat tipis, sehingga tak terlihat.
Sebuah kertas tiba-tiba mendarat di dada bidangnya. Sepertinya ada yang sedang bermain-main dengannya.
"Wow, ternyata tepat sasaran." Dia Fugo Alghinanjar. ketua futsal di sekolahnya. Most wanted yang di lengserkan karena kehadiran Razan. Sepertinya ia tak terima.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nasyaa
JugendliteraturSaat senyum, adalah sebuah alasan bertahan dalam lara yang berteman. Sekedar kata hampa, rasa, dan peran utama. Sekedar pertemuan, kilasan, dan kalimat perpisahan. Tentang gadis tegar, kalimat penenang, serta segala putus asanya. Nathan Alvaro Melvi...