-Play song: Cinta luar biasa-
"Kamu, adalah obat penenang paling ampuh dalam hal menengkan sebuah amarah."
****
"Sya!" Panggil seseorang.
"Apaan, Ti? Tanya Nasya. Uti terlihat menetralkan nafasnya, mungkin akibat berlari dari lapangan menuju kantin.
"Itu... Ra-razan... Berantem!"
Nasya mengernyitkan dahinya bingung. Jika Razan bertengkar, lalu mengapa Uti memanggilnya?
"Kok lo manggil gue?"
"Ish, lo kan temennya Sya! Dan cuma lo yang berani ngomong sama Razan, anak-anak semua pada gak mau. Apalagi gue, mungkin udah tinggal nama."
"Dia gak mau temenan sama gue, udah ah sana. Gue lagi makan juga, anjir."
"Ih, Sya. Lo gak kasian sama Kak Andi yang udah sekarat? lo gak kasian juga liat si Razan yang mukanya udah bonyok gitu?"
Nasya terdiam, bagaimana jika Razan terluka parah? kan, dirinya mendadak panik sendiri.
"Ih, yaudah ayo Uti! Berantem dimana?"
"Dilapangan, ayo!" Uti langsung menarik pergelangan tangan Nasya, dan mengajaknya berlari.
Ketika sampai di lapangan yang nampak ricuh akibat perkelahian, Nasya membulatkan matanya terkejut. Apalagi melihat wajah Aldi yang sangat mengenaskan, ditambah Razan yang akan melayangkan kembali pukulannya. Kemana para guru ketika ada perkelahian seperti ini?
Tak mau mengulur waktu, Nasya langsung berteriak. Membuat Razan yang baru saja akan melayangkan pukulannya, terhenti.
"BERHENTI!"
Nasya langsung berlari menerobos kerumunan tersebur yang tampak asik menonton perkelahian tersebut.
Nasya berdiri di hadapan Razan, dan membelakangi Andi. Seolah-olah melindungi lelaki malang itu.
Matanya menatap hazel coklat tua, yang kini berada di hadapannya. Nasya dapat melihat jelas, kilat kemarahan ketika menatap Razan. Nafasnya memburu tak beraturan, mungkin sedang sekuat tenaga mengendalikan amarahnya.
Wajahnya terlihat kusut, dengan memar-memar yang memenuhi wajah tampannya.
"Udah puas?" Tanya Nasya dingin.
Semua orang menatap Nasya terkejut, pasalnya gadis ceria itu tak pernah berujar dingin seperti tadi. Ada apa dengan Nasya? Bahkan Razan pun sedikit terkejut, namun tertutupi oleh wajah datarnya.
"Minggir lo."
"Kalo gue gak mau?"
Razan terdiam, kemudian membalikan tubuhnya. Meninggalkan lapangan dengan keadaan hening.
"I-itu kok si Razan, pergi?"
"Iya, biasanya dia bakal hajar orang yang ngehalangin aksinya. Gak peduli itu perempuan atau laki."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nasyaa
JugendliteraturSaat senyum, adalah sebuah alasan bertahan dalam lara yang berteman. Sekedar kata hampa, rasa, dan peran utama. Sekedar pertemuan, kilasan, dan kalimat perpisahan. Tentang gadis tegar, kalimat penenang, serta segala putus asanya. Nathan Alvaro Melvi...