"Hakikatnya, merindukanmu adalah pilu terbesarku."
*****
Tut.
"Tunggu." Suara dingin khas Razan terdengar melalui sambungan sepihak di ponselnya.
Nasya tersenyum sembari sesekali bersenandung. Rindunya akan segera terobati, pada lelaki yang selalu di nanti.
"Pasti tambah ganteng." Celetuknya diiringi kekehan kecil.
Sudah satu jam berlalu, Razan masih belum menampakan batang hidungnya. Apakah Nasya yang terlalu berharap lebih?
Nasya menghela nafas, ia membalikan tubuhnya. Namun suara bariton khas, mengintrupsinya.
"Tunggu."
Demi apapun, Nasya merindukan suara dingin milik seseorang yang nanti.
Kini, Razan berdiri dihadapannya. Selang beberap detik mereka saling menatap, menyalurkan rindu serta kepiluan. Dengan nafas tak beraturan, tatapan Razan begitu mengitimidasi.
Nasya berjinjit, lengannya terulur membenarkan rambut Razan yang sudah tak beraturan.
Ia membuka tasnya, dan memberikan sebotol air untuk Razan. Razannya masih sama seperti dulu, dingin dan tak tersentuh.
Nasya tersenyum dan memgamit sebelah tangan Razan untuk menerima sebotol air yang di berikannya.
"Minum," Razan menurut, dan meminum air pemberian dari Nasya, yang membuat si pemberi tersenyum senang.
"Makasih." Ujarnya.
"Boleh peluk?" Tanya Nasya seperti sebuah bisikan, tak ada jawaban dari Razan membuat Nasya membungkam.
Dengan gerakan cepat, Razan menarik sebelah lengan Nasya dan membawanya ke dalam dekapan hangat. Nasya tersenyum dibalik dekapan Razan, rengkuhan yang selalu ia rindukan dibalik pilu.
"Gue kangen lo, Ghi." Ujar Nasya.
Razan tak peduli dengan banyak orang yang belalu lalang menatap mereka dengan pandangan risih atau sebagainya, baginya yang terpenting sekarang adalah mengobati rasa rindunya. Tak bisa di pungkiri, tanpa Nasya disinya ia merasa sangat kehilangan.
Jadi, sebenarnya apa?
Mereka ini apa?
Nasya tak peduli, bagaimana nanti. Yang ia rasa sekarang, Razan adalah tempat berpulang begitu pula sebaliknya. Mereka adalah rumah, masing-masing mencintai yang belum bisa terungkapi.
Razan melepas pelukannya perlahan, di depannya Nasya tersenyum begitu hangat.
"Kemana?"
"Pulang,"
"Jangan."
"Kenapa, jangan?" Tanya Nasya bingung.
"Biar waktu lebih lama," Ucapnya menggantung.
"Lebih lama menahan lo, untuk tetap sama gua." Lamjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nasyaa
Teen FictionSaat senyum, adalah sebuah alasan bertahan dalam lara yang berteman. Sekedar kata hampa, rasa, dan peran utama. Sekedar pertemuan, kilasan, dan kalimat perpisahan. Tentang gadis tegar, kalimat penenang, serta segala putus asanya. Nathan Alvaro Melvi...