"Kembali menghampiri, ketika hati telah tersakiti."
******
Angin berhembus tenang, menyentuh lembut wajah seorang gadis yang kini tengah berdiam dengan mata terpejam.
Helai demi helai rambutnya menari seirama dengan angin yang kian berhembus kesana-kemari, bersamaan dengan deru nafas yang kian mendera.
Gadis itu tetap dengan posisinya, bersandar pada pepohonan rindang di sekitarnya. Bibirnya selalu saja terbentuk bak bulan sabit, tersenyum.
Nasya membuka matanya yang terpejam ketika tak sengaja mendengar derap langkah yang menghampirinya.
Darahnya berdesir, dengan degup jantung yang tak beraturan.
Seorang lelaki yang mati-matian ia jauhi, kini berada tepat dihadapannya dengan memasang wajah datarnya.
"Mau apalagi?" Cerca Nasya, marah.
"Belum puas nyakitin gue?" Sentaknya, dengan nada bergetar.
Iya, lelaki di hadapannya ini adalah Nathan, lelaki yang dulunya pernah ia cinta dengan sebegitunya.
Nathan hanya diam, namun matanya menyelami mata milik Nasya, menatapnya sangat dalam, seolah ada banyak rasa yang tak dapat terucap.
"Sya." Suara seraknya lagi-lagi membuat Nasya memundurkan langkahnya, menjauh.
"Gue—"
"Cukup, gak ada lagi yang harus dibicarakan, bukan? gue bener-bener gak akan ganggu lo, ataupun Katrin, Kak."
"Tapi tolong, sebagai gantinya, jangan pernah nampakin diri lo di hadapan gue lagi,"
"Kenapa?" Nathan bertanya mencoba memahami apa yang tak dipahami.
"Karena kalo lo kayak gini, luka yang pernah lo berikan gak akan pernah sembuh." Nasya berusaha untuk tak mengeluarkan air mata, ia sudah terlalu lelah.
"Maaf."
"Maaf buat apa? lagian, semuanya udah berlalu lama kan? gue udah maafin lo, dan ya lupain aja semuanya, anggap aja kalo dulu gue lagi khilaf." Nasya tersenyum ceria.
"Oh iya, Razan udah nunggu gue, gue duluan kak."
Belum sempat Nasya melangkah, lengannya lebih dulu dicekal.
"Apalagi kak?"
"Gue mau bicara."
"Bukannya dari tadi udah bicara, kan?"
"Soal, kita."
"Memangnya pernah ada kata kita, di antara gue sama lo, kak? enggak, kan? jadi gue mohon, jangan pernah nampakin diri lo lagi kak, permisi."
Setelahnya Nasya berjalan pergi, meninggalkan Nathan dengan segala perasaan yang berkecamuk.
"Sesakit ini ya, Sya?"
******
Bruk.
Nasya jatuh terduduk, dengan kedua lengan yang terus menutup wajahnya, menyembunyikan isak tangis akan luka lama yang teringat kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nasyaa
Teen FictionSaat senyum, adalah sebuah alasan bertahan dalam lara yang berteman. Sekedar kata hampa, rasa, dan peran utama. Sekedar pertemuan, kilasan, dan kalimat perpisahan. Tentang gadis tegar, kalimat penenang, serta segala putus asanya. Nathan Alvaro Melvi...