"Tak tau harus kemana, selain kau tempat ku kembali."
******
Sudah seharian penuh Razan tetap duduk menemani Nasya yang sampai saat ini belum juga membuka matanya.
Gurat khawatir terpampang jelas di wajah lelaki itu, segala perasaan bersalah berhasil mengobrak-abrik perasaannya. Seandainya saja ia bisa menjaga dengan baik apa yang seharusnya ia jaga, maka Nasya tak mungkin ada di sini saat ini.
"Zan, mending lo pulang. Nasya, biar gue yang temani." Ujar Maura yang sudah ada sejak satu jam yang lalu.
Tentu karena Razan yang memberi tahu keberadaan Nasya.
"Gak."
"Jangan keras kepala. Liat muka dan penampilan lo, berantakan banget!" Cerca Maura.
"Bacot."
"Buruan balik di bilang, kepala batu!"
Maura mendengus, karena Razan tak merespon ucapannya.
"Gua balik." Ucap Razan, setelah hening beberapa menit.
"Setelah itu, gua kembali lagi." Ujarnya, lalu melangkahkam kalinya meninggalkan ruangan dimana Nasya terbaring.
Kini, Maura berjalan menghampiri ranjang Nasya. Di telitinya wajah sahabatnya itu, kenapa dunia tak pernah adil padanya?
"Kenapa lo harus hidup diantara kedua orang tua lo yang seperti ini?"
"Kenapa lo gak berbagi luka lo sama gue, Sya?"
"Kenapa lo tetap tegar meskipun dunia sering kali membuat lo rapuh?"
"Bangun Sya, lo punya gue dan teman-teman lo. Dan sekarang, lo punya Razan yang selalu siap di samping lo. Bangun Sya, gue mohon..." Lirih Maura.
Maura bersidekap di kedua tangannya, tak mampu kembali bersuara, baginya seseroang seperti Nasya patut bahagia. Tetapi mengapa dirinya tak pernah bisa membuat sahabatnya bahagia?
"Hei, kenapa nangis?" Suara lirih Nasya, membuat Maura langsung mendongkak.
"Sya!!" Pekik Maura, lalu menghambur ke pelukan Nasya dengan hati-hati.
"Uhuk-uhuk. Sahabat gue yang satu ini kenapa?" Tanya Nasya setelah Maura melepas dekapannya.
"Kenapa-kenapa! Gue khawatir sama lo tau!" Ujarnya menggebu.
Nasya terkekeh kecil, kurang bahagia bagaimana dirinya memiliki sahabar seperti Maura?
"Udah jangan nangis, gue gak apa-apa kok Ra." Ucap Nasya.
"Lagian tuh nenek sihir kenapa kejam banget sih sama lo? harus dikasih pelajara dulu biar dia tau diri!"
"Eh jangan. Lagian gue kan emang awalnya udah sakit, jadi pas sampe rumah malah nambah sakit." Elak Nasya.
"Tap--
Ceklek.
Sebelum Maura melanjutkan ucapnnya, seseorang membuka knop pintu. Dan, terpampanglah wajah sosok yang membuat Nasya jatuh hati sebegitunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nasyaa
Fiksi RemajaSaat senyum, adalah sebuah alasan bertahan dalam lara yang berteman. Sekedar kata hampa, rasa, dan peran utama. Sekedar pertemuan, kilasan, dan kalimat perpisahan. Tentang gadis tegar, kalimat penenang, serta segala putus asanya. Nathan Alvaro Melvi...