23. Jatuh Cinta

1.5K 65 0
                                    

Seminggu sudah berlalu. Setelah berkutat dengan buku-buku sialan itu, Vannesa akhirnya bisa bernafas lega juga.

"Waktunya ngedrama." Ujar Vannesa sembari membuka pintu balkonnya.

Hm.

Udara segar langsung menerpa wajah Vannesa yang terasa pengap. Belaian angin yang pelan itu membuat matanya otomatis menutup.

Seminggu rasanya seperti setahun. Begitu menyiksa. Padahal ia hanya berhadapan dengan simulasi ujian nasional, mengapa ia merasa seperti bertemu dengan malaikat maut?

Kapok. Benar-benar kapok rasanya. Apalagi mengetahui nilainya yang jeblok-jeblok itu. Hm. Benar-benar tak ingin mengulang rasanya.

"Apaan nih?" Gumam Vannesa.

Ada banyak kapal terbang kertas di lantai balkonya. Mungkin ada sekitar 20? Ah tidak. Lebih dari 40 ini. Lihat saja, benar-benar berserakan. Bak sampah saja.

Lo masih marah sama gue?

Itu kalimat pertama yang Vannesa baca dari dalam kertas origami itu.

Kak Nes, lo ngambek atau gimana sih? Sorry deh.

Ujung bibir Vannesa tertarik ke samping.

Kak Nes, Sorry.

Semangat latian UN-nya. Jangan lupa makan!

Lo masig marah? Jangan marah dong...

Hp lo sering mati. Gue nggak bisa nelpon elo.

Sorry...

Maaf. Gue nggak maksud sama ucapan gue kemarin.

Ternyata tiap pesawat origami itu berisi berbagai macam kalimat. Tanpa ada nama pengirim, Vannesa sudah bisa menebak siapa pelaku kerusuhan ini. Tentu saja Iel. Alias Nathan. Si bocah menyebalkan itu ternyata punya sisi yang cute juga.

Vannesa melirik ke arah balkon di seberang kamarnya itu. Masih dengan posisi jongkok dengan tumpukan kertas di tangannya.

¤¤¤


Nathan hanya bisa duduk manis di cafe milik Vannesa ini. Ia hanya mengaduk ice miliknya dengan ekspresi datarnya. Hm. Membosankan juga.

"Nathan?"

Nathan melirik. Pura-pura terkejut dan tersenyum dengan canggung. "Eh, elo? Ngapain di sini?"

Anya tersenyum lebar. Nampaknya ini kesempatan yang pas. Yap, kesempatan untuk bisa mendekati Nathan. Apalagi selama ini ia selalu gagal.

"Gue abis dari rumah temen, terus ngeliat cafe ini. Nggak sengaja mampir deh. Elo sendiri, ngapain di sini?"

Nathan menyeruput minumannya dengan cuek, "Ah, gue lagi gabut aja makanya nongkrong di sini."

"Gue baru tau kalo ada cafe yang asik di sini." Ujar Anya.

Sungguh suasana yang tak ingin Nathan lewati. Ia hanya berharap segera mengakhiri percakapan membosankan dan segera pulang ke rumah.

Klek.

"Alo Mbak Aya." Suara agak cempreng itu terdengar ke telinga Nathan.

Nathan mengedipkan matanya polos. Akhirnya.

"Eh, Vannesa. Akhirnya muncul juga."

Brondong Idaman [ON-GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang