42. Berburuk sangka

473 29 1
                                    

Alunan piano mengalun pelan di penjuru ruangan yang sudah sepi ini. Lani melirik ponselnya yang tergeletak. Ini sudah saatnya ia pulang ke rumah. Namun jari-jemari tangannya belum mau berhenti  memainkan tuts piano. Ada dua plaster cokelat yang melingkar di  jarinya.

Pertunjukkan piano akan segera diselenggarakan. Itu artinya waktunya belajar tak banyak lagi. Ia tak ingin mendapat nilai buruk jika penampilannya gagal. Dan disinilah ia sekarang. Ketika teman-temannya membubarkan diri setelah kelas selesai, ia masih duduk sembari memainan piano hitam besar.

Drttt...drt...

Ponsel Lani bergetar karena ada pesan masuk. Sepertinya memang sudah saatnya untuk berhenti. Lani bangkit sembari membuka pesan yang masuk. Ia melangkah gontai mengambil tas selempangnya. 

"Jangan lupa istirahat."

Begitulah pesan yang Lani baca.

Gadis itu tersenyum tipis. Melangkah menjauhi ruang kelasnya yang kini benar-benar sunyi karena tak ada penghuninya. 

Lani merapatkan mantel dan syalnya. Udara dingin ini benar-benar membunuhnya. Tulangnya terasa seperti ditusuk jarum. Sesekali ia meniup telapak tangannya agar merasa lebih hangat. 

"Lani?"

Merasa namanya dipanggil, Lani menoleh. Senyumnya merekah ketika melihat seorang pria berdiri tak jauh darinya. Tapi bisa dilihat ada getaran di tengah senyumannya.

Niat hati ingin menghampiri. Namun  baru selangkah kakinya maju.

Bruk!

Pandangannya menghitam.

"LANI?!"

¤¤¤

Mobil Vannesa berhenti di depan sebuah cafe. Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Dan cafe ini lumayan ramai pengunjung karena ini adalah jam-jam yang tepat untuk nongkrong, apalagi bagi kaum muda-mudi yang sangat suka dengan yang namanya hedon.

"Thank you Vann," ujar Azka ketika Vannesa mengulurkan tongkat kruk miliknya, "Gue bisa sendiri kok. Tenang aja."

Vannesa hanya mengangguk. Ia melangkah ke belakang agar memberikan ruang bagi Azka supaya bisa bergerak dengan bebas. 

"Ati-ati, Ka." ujar Vannesa ketika melihat Azka sedikit kesusahan ketika turun dari mobil. Ia tidak ingin Azka tambah terluka. Bukan karena ia tak ingin lagi bertanggung jawab, tapi ia hanya merasa bersalah.

Perut mereka berdua sudah keroncongan. Mereka baru saja kembali dari rumah sakit setelah memeriksakan perkembangan kaki Azka yang cidera. Dan itu sebabnya mereka melewatkan makan malam mereka hingga saat ini.  

Azka melangkah dengan terbatas, tentu saja, siapa yang bisa melangkah dengan nyaman ketika kaki sedang cidera. Dan Vannesa dengan sabar menunggu langkah Azka. Ia tidak mendahului, dan juga tidak berada di belakangnya.

Vannesa bahkan dengan baik hati membukakan pintu untuk Azka. Dan begitu mereka masuk, mereka langsung disambut oleh lambaian tangan dua orang yang duduk berhadapan di tengah cafe. Oke. Vannesa dan Azka langsung saja menuju ke sana. 

"Lama amat." semprot Nia begitu Vannesa menarik kursi di sampingnya. Sebelum itu, Vannesa menarikkan kursi terlebih dahulu untuk Azka duduk. Tak lupa ia juga meletakkan kruk Azka di samping meja agar tak mengganggu Azka.

 Ya, Nia sudah berada di sini lebih dahulu. Lebih tepatnya sepuluh menit yang lalu.

Tadi Vannesa mengiriminya pesan bahwa ia sedang lapar. Dan karna kebetulan Nia juga sedang suntuk di rumah, makanya mereka sepakat untuk bertemu di cafe ini.

Brondong Idaman [ON-GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang