39. Jatuh Korban

716 29 0
                                    

Hiks... Hiks...

Terdengar isak tangis yang memantul di penjuru lorong rumah sakit ini. Sumber suaranya berasal dari seorang gadis yang tengah duduk sembari menutup wajahnya. Menyembunyikan agar wajahnya tak nampak oleh siapa pun.

"Udah dong, Vann, nggak usah nangis lagi." hibur Nia sembari mengelus punggung Vannesa. 

Hampir setengah jam mereka berdua menunggu di luar ruang periksa. Dan selama itu juga Vannesa menangis terisak. Untung saja ini belum tengah malam. Jika ini tengah malam, Vannesa pasti akan dikira sesosok hantu penunggu lorong ini.

"Tapi Azka, Ni hiks..." selanya di balik telapak tangannya.

"Udah dong, Azka nggak kenapa-kenapa kok. Santai aja. Dia baik-baik aja kok."

Vannesa mendongakkan wajahnya, matanya tampak sedikit sembab dengan air mata yang masih saja menetes. "Tapi kan tetep aja, gara-gara gue..."

"Azka nggak apa-apa. Udah ya?" potong Nia cepat sebelum Vannesa kembali terisak.

Sedari tadi Nia sudah mencoba menghentikan tangis Vannesa. Ia melakukan segala cara agar sahabatnya itu tak terlalu memikirkan apa yang terjadi. Ia mencoba melucu meskipun leluconnya terdengar garing. Bahkan ia memberikan kata-kata penyemangat. Namun semuanya percuma karena tak lebih dari lima menit setelah Vannesa berhenti terisak, Vannesa akan kembali menangis lagi. Begitu seterusnya.

Vannesa merasa ini semua terjadi karenanya. Dan ia merasa sangat bersalah tentunya. Orang lain harus menjadi korban karena dirinya. Dan itu menjadi sebuah rasa yang amat sangat mengerikan.

Sret.

Tak lama kemudian.

Gagang pintu ruang pemeriksaan terbuka. Dengan cepat Vannesa bangkit dan menghapus semua air matanya. Seorang pria dengan perkiraan umur tak lebih dari enam puluh tahun keluar dengan memakai jas berwarna putih dan celana bahan dengan warna senada.

Kemudian keluar seorang pria dengan langkah yang sedikit terseok dengan sebuah tongkat kruk di kedua tangannya.

"Azka?"

"Pasien tidak apa-apa cuma kakinya terkilir, makanya kakinya perlu di gips untuk beberapa hari ke depan." ujar pria paruh baya, yang tak lain adalah seorang doktor.

Azka mengangguk sembari tersenyum tipis, "Gue nggak apa-apa kok. Gue bakal cepet sembuh, nggak usah kawatir."

"Kalau begitu saya tinggal dulu." ujar sang dokter.

Nia dan Vannesa mengangguk penuh hormat, "Terima kasih, Dok."

Vannesa mencoba memalingkan wajahnya, rasa bersalah kembali hinggap ke hatinya. Azka terluka karenanya. Dan ia harus bertanggung jawab akan hal itu.

Peristiwa ini bermulai ketika...

Nia baru saja kembali dari toilet dan ia tak menemukan Vannesa di kelas. Ia bertanya pada salah seorang yang berada di kelas, katanya Vannesa sedang mengembalikan buku ke perpustakaan. Langsung saja ia menuju perpustakaan untuk menyusul sahabatnya itu.

"Itu bukannya Vannesa ya? Ngapain sama si Azka?"

Nia tak sengaja melihat Vannesa sedang bersama Azka melewati gedung kelas sebelas. Tentu saja ia bertanya-tanya mengapa dua orang itu bisa bersama. Sebenarnya apa yang terjadi di antara keduanya?

Tak lama ia melihat Azka dan Vannesa berpisah. Ia melihat Vannesa melangkah menjauh. Namun...

"VANN, AWAS!!!"

Brondong Idaman [ON-GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang