32. Sayonara

1K 52 2
                                    

Suasana pagi ini memang cerah. Matahari bersinar dengan riang di ufuk timur. Angin berhembus pelan hingga daun-daun kering berjatuhan. Namun cerahnya pagi ini tak secerah pagi Vannesa. 

Bagaimana Vannesa bisa ceria di hari yang cerah ini ketika sang pacar pamit untuk pergi ke luar negeri. Perkaranya, Nathan pergi bukan untuk beberapa hari saja, melainkan dua tahun lamanya. Itu waktu yang lama.

Vannesa hanya duduk di balkon kamarnya sembari menatap balkon kamar Nathan yang tertutup rapi. Nathan sudah pergi ke bandara. Namun ia tak pergi untuk menghantarkannya. Ia tak bisa melihat Nathan pergi, bisa-bisa ia menggelendoti kaki Nathan agar tak pindah ke luar negeri.

"Dia belum berangkat aja gue udah kangen setengah mati. Gimana nanti kalo udah berbulan-bulan?" gumamnya sedih.

Vannesa mencepol rambutnya yang terasa sangat risih di punggungnya. Sembari menata rambutnya, ia menatap lukisan yang ia peroleh di Jogja beberapa waktu lalu. Ya, lukisan dirinya dengan Nathan. Vannesa kini memutuskan untuk memajang lukisan itu di balkon kamarnya, jadi ia bisa memandangi lukisan itu dengan puas ketika ia merasa bosan.

Tok. Tok. Tok. 

Vannesa mendengar ketukan di pintu kamarnya, ia bangkit dan segera mengecek siapa yang datang. Belinda, sang mama, sudah berdiri di depan pintu dengan senyum manis.

"Ada apa, Ma?" tanya Vannesa.

"Ada yang nyari kamu." jawab Belinda lembut.

Vannesa mengernyit, "Siapa Ma?" tanya Vannesa penasaran.

Tidak mungkin orang yang mencarinya adalah Nia. Jika Nia yang datang pasti sudah langsung menerobos masuk ke dalam kamarnya tanpa perlu minta tolong dipanggilkan. 

"Kamu lihat aja dulu."

Vannesa mengangguk. Ia melihat dirinya di cermin. Padupadan white t-shirt dan straigh pants monochrome, tak lupa moccasins warna hitam. Tak begitu buruk. Vannesa langsung saja menyusul sang mama turun.

"Azka?" ujar Vannesa kaget melihat siapa yang sebenarnya datang.

Azka berdiri di teras rumahnya dengan pakaian kasualnya. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana jeans-nya. Ekspresi Azka terlihat kaku. Mungkin kata canggung dapat menjelaskan suasana yang sebenarnya.

"Ada perlu apa?" tanya Vannnesa mengambang.

"Ada perlu sedikit sih." ujar Azka sembari menggaruk tengkuk kepalanya.

"Masuk?" tanya Vannesa.

Azka menggeleng, "Nggak usah. Bentar doang kok."

Vannesa mengangguk canggung. Keduanya berdiri tak begitu jauh satu sama lain. Sebenarnya ada apa? Tumben Azka datang ke sini? Dulu Azka memang sering ke sini, tapi semenjak putus, Azka tak pernah menampakkan batang hidungnya  lagi di rumah Vannesa.

"Gue cuma mau minta maaf," Azka memulai pembicaraan. Ekspresinya benar-benar serius.

"Soal apa?"

"Semuanya." jawab Azka. "Soal gue nuduh elo selingkuh, terus soal Shilla juga."

Vannesa kehilangan kata-kata. Seorang Azka? Sekarang meminta maaf kepadanya? Yang benar saja? Apa ini mimpi?

"Kenapa elo yang minta maaf soal Shilla?" tanya Vannesa. Seharusnya masalahnya diselesaikan dengan Shilla, bukan dengan Azka.

"Semuanya gara-gara gue. Dia cemburu gara-gara elo mantan gue."

Mulut Vannesa membulat kaget. "Oh,"

"Tenang aja. Mulai sekarang gue pastiin dia nggak bakal gangguin elo lagi. Dan juga..." Azka menggantung.

Vannesa menantikan kalimat yang akan diucapkan Azka. Alisnya mengerut karena ia sedang serius.

Brondong Idaman [ON-GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang