9. Pengakuan

1.8K 90 0
                                    

Nathan hanya bertanya-tanya dalam hatinya mengenai sikap Vannesa yang aneh. Apa mungkin Vannesa menghindar darinya atau mungkin ia hanya salah paham?

"Ngapain ngalamun?" Senggol Bima.

Alis Nathan terangkat malas. Sementara itu Bima hanya memandang dirinya dengan senyum miring khas mengejek. Entah apa yang ada di pikiran anak itu. Tak ada yang tau.

"Kenapa? Galau ye?" Sindir Bima.

"Sok tau!" Ujar Nathan menanggapi.

"Kenapa? Kenapa? Gagal ngajak cewek ngedate? Atau ditolak sama cewek? Bilang aja sama gue! Gue ahlinya naklukin cewek." Ujar Bima percaya diri. Ia menepuk dadanya dengan bangga. Seolah-olah sedang membanggakan dirinya.

Nathan mendelik, "Mana percaya gue. Orang lo juga jomblo." Nyinyirnya.

"Ye, nggak percaya lagi. Lo nggak tau aja berapa mantan gue."

"Omdo. Omong doang."

"Njir.. ada cewek cantik." Ujar Bima dengan mata segar.

"Percuma ada cewek cantik kalo dianya nggak mau sama lo." Ujar Nathan sembari menopang dagunya malas.

"Eh, eh, dia ke sini lagi." Ujar Bima menyenggol lengan Nathan dengan semangat. Namun ia tak mendapat respon bagus dari Nathan. Nathan masih terdiam malas tak menghiraukan.

"Hai..." sapa perempuan yang dimaksud Bima 'cewek cantik'.

Bima dengan senyum yang membara menjawab dengan semangat. "Hai juga. Ada yang bisa dibantu?"

"Sorry.. mau ngobrol sama Nathan boleh?" Ujar perempuan itu.

Teng tong.
Seperti ada tanda silang besar di atas kepala Bima. Salah besar.

Senyum Bima perlahan meredup. Ia pikir perempuan itu hendak menyapanya. Ternyata yang di ajak mengobrol adalah Nathan.

"Oh gitu. Boleh deh. Ngomong aja langsung sama orangnya." Ujar Bima dengan senyum kecut.

"Anya, ada apaan?" Ujar Nathan pada perempuan itu.

Nathan masih ingat betul siapa perempuan itu. Perempuan itu adalah orang yang mengajaknya berkenalan di kantin saat ia pertama kali pindah ke sini, Anya.

"Ehmm.. Gimana kalo ngobrol di luar aja? Ada yang pengen gue omongin bentar." Ujar Anya dengan lembut. Entah memang suara lembut atau dibuat-buat lembut.

Nathan melepas topangan dagunya. Ia beranjak bangkit dari bangkunya. "Ya udah yuk."

"Bim, gue keluar bentar." Ujar Nathan sembari menepuk bahu teman sebangkunya itu.

"Lo mau ngomongin apa?" Tanya Nathan langsung pada intinya saat mereka sudah berada di luar kelas.

"Gini sih, ehm.. gimana ngomongnya ya?" Anya menggaruk tengkuknya dengan tangan kiri.

"Ngomong aja langsung."

"Sebenernya tim gue mau bikin poster buat hari jadi sma kita. Kita kan mau ngadain promnight gitu. Sebenernya tim kita mau pake kak Azka tapi dia nggak bisa soalnya sibuk buat pertandingan basket. So, gue pikir lo cocok." Ujar Anya.

"Terus?"

"Gue mau nawarin lo buat jadi modelnya. Lo bisa apa nggak?"

"Hmm.. gue pikir-pikir dulu." Ujar Nathan menggantung.

"Ya udah lo pikir-pikir dulu aja. Eh, gue boleh minta nomer hp lo? Biar gue bisa konfirmasi lagi gitu." Ujar Anya.

Nathan mencium bau-bau 'modus' dari perempuan ini. Ia tau bahwa konfirmasi akan menjadi alasan Anya untuk meminta nomer ponselnya. Padahal sebenarnya yang ia incar adalah nomor ponselnya, bukan konfirmasinya. Nathan paham betul itu.

Brondong Idaman [ON-GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang