44. Cukup Tau

689 37 5
                                    

Klek.

Pintu itu menutup  begitu Vannesa masuk ke dalam kamarnya. Jam di dinding menunjukkan tepat pukul sepuluh malam. Setelah Vannesa meletakkan tasnya, Vannesa melangkahkan kakinya lagi, alih-alih segera membersihkan badannya dan segera pergi tidur. 

Sret.

Pintu balkon terbuka lebar. Membuat angin malam dengan cepat menerpa wajah Vannesa. Anak rambut Vannesa yang tak terkucir pun bergerak seiring sapuan angin. Vannesa melangkah keluar. Menghempaskan pantatnya di  kursi balkon yang keras.

Gelap.

Keadaan malam ini memang gelap. Tanpa ada bintang yang bersinar. Bahkan bulan pun ragu-ragu menampakkan wajahnya. Sangat suram. Seperti pikiran Vannesa yang sangat suram malam ini.

Gelap.

Bukan, Vannesa tak menyinggung suasana malam ini untuk kedua kalinya, tapi ia melihat kamar di seberang yang tampak gelap. Sudah berapa lama ia tidak melihat ke arah kamar itu? Sehari? Dua hari? Ternyata lebih dari seminggu.

Vannesa merogoh saku celana jeans-nya. Mengambil ponsel yang masih berada dalam mode mati itu. Vannesa segera menyalakan ponselnya sembari melihat kamar di seberang dalam-dalam.

Drtt... Drt...

Banyak sekali pemberitahuan yang masuk ke dalam ponsel Vannesa begitu ponsel itu menyala.

30 panggilan tak terjawab.

589 pesan belum dibaca.

Sebagian berasal dari pesan grup. Sebagian lagi dari teman-temannya. Dan sisanya dari Nathan. Tangan Vannesa mengambang di udara. Apakah ia berani membuka pesan dari Nathan yang lebih dari 50 itu?

"Apa yang lo takutin sih, Nes?" batin Vannesa.

Vannesa memandang dalam-dalam lukisan yang terpajang di dinding balkonnya itu. Pikirannya kalut, gelisah. Ada suatu ketakutan dalam dirinya. 

Lani. 

Tiba-tiba nama itu terngiang di kepala Vannesa. Ia tidak tau sosok sebenarnya dari nama "Lani". Jangankan kepribadiannya, ia pun tak bisa membayangkan sedikitpun bagaimana rupa sosok Lani yang sesungguhnya.

Apakah berkulit putih pucat? Apakah bermata sipit? Apakah berambut lurus? Apakah punya senyum manis yang dapat menghipnotis semua orang?

Vannesa sama sekali tak terpikir. Lebih tepatnya ia enggan membayangkan. Bagaimana jika ternyata sosok Lani jauh lebih sempurna di bandingkan dirinya? 

Jika diingat-ingat lagi, Vannesa jauh dari kata feminim yang sesungguhnya. Ia selalu bersikap cuek pada Nathan. Jangankan perhatian, yang selama ini Vannesa lakukan hanya menyusahkan Nathan. Ia selalu berbicara dengan nada ketus nan pedas.

Bagaimana jika ternyata sosok Lani dapat menggantikan dirinya di sana? Itulah ketakutan terbesar Vannesa. 

"Come on, Nes! Jangan mikir yang macem-macem dulu. Dua hari lagi lo ujian. Please jangan bikin nilai lo ancur cuma gara-gara ini!"

Klik.

Kak Nes?

Lo masih ngambek?

Please bales chat gue!

Lo beneran ngambek?

Come on, dia cuma temen gue!

Gue nggak ada hubungan apa-apa sama Lani.

Kak Nes?

Lo sakit? Atau kenapa? Jangan bikin gue khawatir dong.

Apa perlu gue balik ke Indonesia buat ngecek keadaan lo sekarang?

Brondong Idaman [ON-GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang