40. Berdamai dengan mantan

888 39 5
                                    

Seorang gadis melangkah di lorong apartemen, lebih tepatnya di lantai sepuluh. Ia menuju sebuah kamar yang tampak masih tertutup.

Ting tong.

Gadis itu tampak menekan tombol lonceng berwarna putih di dekat pintu. Ia menunggu beberapa saat hingga seorang wanita dengan menggunakan hoodie polos berwarna pink  keluar dengan senyuman yang cerah. Wanita itu tampak cantik dengan rambutnya yang berwarna cokelat gelap, bibir mungil, mata sipit dan juga gigi kelincinya.

"Eh? Lan? Udah sampe aja?"

Wanita ber-hoodie itu melangkah masuk kembali ke dalam apartemen dengan diikuti si tamu, Lani. Lani melepaskan mantel berwarna hitam yang ia pakai. Kemudian meletakkannya di gantungan mantel di sisi kanan pintu apartemen. Di sana juga sudah ada dua buah mantel berwarna abu-abu dan biru muda.

Apartemen ini terlihat sangat simple. Terlihat sangat bersih dengan warna  dominan putih di setiap sudut ruangan. Hanya ada kamar, dapur dan kamar mandi. Kamar dan dapur di pisahkan dengan sebuah meja makan berwarna putih. Dan ada sebuah mini sofa di dekat ranjang.

"Kak Oik kelamaan sih bukain pintunya."

"Sorry, aku abis makan." ujar wanita yang di panggil 'Oik' tadi.

Sepulang dari rumah Nathan, Lani langsung menemui kakak sepupunya. Siapa lagi kalau bukan Oik. Ia pikir dari pada langsung pulang mending ia mampir, toh sekalian dia di luar rumah. Karna ketika di rumah, tak banyak yang bisa ia lakukan.

Lani mengikuti si pemilik apartemen ini, ia menghempaskan pantatnya ke atas sofa berwarna putih itu. Oik menyodorkan sebuah toples kaca berisi cookies ke hadapan Lani. Dan tentu saja Lani mencomot satu untuk dilahap.

"Gimana sekolah kamu? Katanya bentar lagi ada pementasan piano?" tanya Oik.

Lani mengangguk sembari menelan cookies  yang ia kunyah, "Iya, mungkin minggu depan."

"Tante Aini masih sering jarang di rumah?" tanya Oik lagi. Tangannya sibuk mencepol rambutnya yang terasa risih di bahu.

"Ya masih sih."

"Kalo di rumah sendirian, mending ke sini nemenin Kakak. Di sini sepi tau." 

Lani  paham bagaimana rasanya tinggal sendirian. Rasanya sepi. Apalagi Oik terus tinggal sendirian di sini semenjak setahun yang lalu. Semenjak ia kuliah di sini seorang diri, sedangkan orang tuanya tetap menetap di Indonesia karena urusan pekerjaan. Lani masih ingat betul ketika Oik bercerita bahwa ia sangat bersyukur masih mempunyai sepupu yang tinggal di sini. Artinya Oik tidak benar-benar sendiri di negeri orang.

"Ya ampun Kak, kemaren kita baru ketemu loh." canda Lani.

"Ya gimana dong?"

Lani menepuk-nepukkan tangannya untuk membersihkan remahan cookies yang tertinggal di tangannya. "Emang pacar kakak balik ke sini lagi kapan?"

"Belom tau. Emang kenapa?" tanya Oik dengan polos.

"Emang kenapa? Kakak nggak inget kalo ada pacar kakak, kan aku dilupain." sindir Lani.

"Sorry deh. Makanya cari pacar juga dong biar kita double date gitu..."

"Nyari di kolong jembatan?" 

"Itu loh cowok yang kamu ceritain di bandara itu..."

Lani membelalak. Ia ingat sesuatu. "Ah, cowok itu? Tau nggak Kak? Ternyata dia anak temen Mama. Semalem aku dikenalin sama dia."

Oik tersenyum tapi terkesan ditahan. Kelopak matanya semakin mengecil sehingga matanya kini tampak seperti garis melengkung. "Hayo... Jadi..."

"Jadi apa?" tanya Lani polos.

Brondong Idaman [ON-GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang