38. Accident

800 31 4
                                    

Istilah dunia itu sempit ternyata benar. Begitu yang dipikirkan Nathan sekarang ini. Ia melirik wanita yang duduk di depannya, Lani, dengan pandangan yang sulit didefinisikan. Siapa sangka ia akan bertemu gadis itu lagi? Dan siapa juga yang menyangka mereka akan bertemu di tempat ini? Terlebih dengan ibu masing-masing.

Lani tak banyak bicara, ia hanya mendengarkan pembicaraan dua wanita paruh baya di depannya dengan sedikit bosan. Nathan juga begitu. Ia hanya mengaduk-ngaduk makanannya.

"Kalian bosen ya? Kalo kalian bosen mending kalian ngobrol di luar juga nggak apa-apa." ucapan Aini membuat Lani dan Nathan saling pandang setelah sadar dari lamunan masing-masing.

Ika menepuk bahu Nathan, "Nggak apa-apa. Kan kalian juga udah kenal."

Nathan tersenyum tipis, meletakkan garpu yang ia pegang, kemudian bangkit untuk pergi. Lani mengikuti langkah yang dilakukan oleh Nathan. Lantas segera menyusul Nathan yang sudah lebih dulu keluar.

Mereka berdua meninggalkan ibu mereka untuk bisa mengobrol lebih puas. Intinya, mereka tidak bisa menganggu obrolan wanita dewasa.

Bangku panjang yang terdapat di luar restoran tampaknya menjadi pilihan yang paling bagus. Mereka berdua duduk dengan canggung. Nathan duduk di ujung kanan, kontras dengan Lani yang duduk di ujung kiri. 

"Ehm..."

"Eh..."

"Lo duluan aja." Nathan mencoba mengalah, mempersilahkan Lani berbicara terlebih dahulu.

Lani berdehem sebentar, merapatkan mantel cokelat yang ia kenakan. Ia lupa mengenakan syal. Jadi lehernya sedikit terkena udara. Udara dingin membuatnya susah bernafas, namun suasana canggung ini tambah mencekat lehernya.

"Nggak nyangka ya, kita ketemu lagi." celetuk Lani diiringi dengan senyum yang pucat.

"Iya, gue juga nggak nyangka elo anak temen nyokap gue."

"Dunia sempit ya?"

"Hm, cakupannya aja yang sempit karena ketemu sama orang itu-itu aja."

"Bener juga ya."

Lani tersenyum tipis. Ia memperhatikan lampu penerangan jalan yang redup. Ah, kenapa suasananya justru semakin canggung ya.

Mereka kembali ke suasana semula. Hening. Saling sibuk dengan pikiran masing-masing. Mereka kembali ke situasi dimana mereka seperti orang asing satu sama lain. Padahal tempo hari mereka sudah seperti teman biasa.

Aneh memang. Mungkin karena saat itu mereka tak tau latar belakang satu sama lain. Tapi sekarang mereka tau bahwa orang tua mereka berteman, jadi menimbulkan kesungkanan di antara keduanya.

Lani semakin merapatkan jaketnya. Bibirnya sedikit bergetar namun dengan cepat ia mengigitnya. Tangannya ia simpan rapi di dalam saku mantel. Ternyata dinginnya kali ini mampu mengalahkan tebalnya mantel yang ia pakai.

Hampir lima menit mereka diam dalam keheningan masing-masing.

"Ah," Nathan teringat sesuatu, "Gue mau ngucapin thank you, buat tempo hari elo udah nolongin gue."

Lani menggeleng, "Enggak kok, aku nggak nolong apa-apa. Aku cuma ngajak kamu jalan-jalan aja."

"Ya, berkat elo gue jadi kenal lingkungan sekitar gue yang baru."

"Sekarang tinggal kamu yang adaptasi sama keadaan di sini." Balas Lani. 

"Elo hobi senyum ya?" Tebak Nathan.

"Hah?"

"Ya, abis, elo senyum mulu."

Ya, benar. Lani selalu mengakhiri perkataanya dengan senyuman. Bahkan sejak pertama mereka bertemu. Mungkin itu karena kepribadiannya. Atau juga karena sebab lain? Entah.

Brondong Idaman [ON-GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang