12. BROKEN

5.5K 578 112
                                    

.

.

Jam taman menunjukkan pukul sebelas malam. Langit gelap gulita, salju masih turun samar dan angin berhembus dingin. Jalanan pun sunyi, hanya terdengar suara air mancur dan bunyi sepatu petugas yang tengah membersihkan salju. Namjoon bergeming di tempatnya, mengerjap dengan alis hampir menyatu, ujung syalnya terkulai lemas di depan dada dan pemuda itu tak berniat menariknya kembali meski rasa dingin mulai menjalari lipatan jari.

Sejenak, kepalanya tertunduk, memainkan jari-jarinya gusar disusul desah tak sabar.

"Jadi," gumamnya, masih menatap nanar, "Apa ini berarti aku tak punya kesempatan lagi?"

Seokjin, berdiri tiga langkah di depannya, tersenyum samar dan menggeleng pelan. Namjoon memalingkan muka dan menggerut anak rambutnya ke belakang, gigi-giginya menggerus bibir bawah dengan frustasi, "Dengar hyung, aku..."

"Namjoon-ah," tukas Seokjin, menegaskan nadanya agar Namjoon memperhatikan, "Aku benar-benar minta maaf, tapi kuharap kamu mau mengerti."

"Mengerti? Mengerti apa?" Namjoon menurunkan kedua lengannya sambil menggeram, "Kau menyuruhku untuk tidak lagi menemuimu dan kau memintaku agar mengerti? Katakan bagaimana aku harus melakukannya!" bentaknya meninggi. Mata mendelik tajam dan Seokjin hanya menggeleng menanggapi.

"Namjoon-ah."

"Jangan memanggilku seperti itu! Haish!" sentak Namjoon, "Kenapa? Apa aku melakukan kesalahan? Apa aku membuatmu kesal? Membuatmu marah? Iya? Kalau iya, katakan saja! Aku akan minta maaf berapa kalipun kau mau, hyung. Tapi kumohon," ujarnya mengiba, "Jangan menyuruhku berhenti menyukaimu."

Dokter muda tersebut menarik napas sambil tetap tercenung, gestur memukau yang sejatinya selalu berhasil membuat jantung Namjoon berdetak hebat, membuat dada Namjoon berdebar-debar. Reaksi yang seharusnya memberi perasaan menyenangkan, namun tidak pada hari ini. Namjoon tak mengharapkan senyum itu terbit setelah mencerna baris perkataan Seokjin. Batinnya berdetak kuatir tiap kali Seokjin menarik sudut bibir, seolah berisyarat bahwa tak ada satupun kalimat bujukan Namjoon yang berhasil meluluhkan hati pria itu. Mendadak Namjoon melupakan perasaan bahagia ketika melihat raut ramah Seokjin, raut yang kini tengah berhadapan dengannya, dengan mata yang memandang penuh kasih, penuh perhatian, namun tidak dengan cinta. Tidak lagi.

Jemari Namjoon berangsur mengepal—begitu erat hingga kuku jarinya menusuk kulit telapak tangannya sendiri. Pun mengumpat dalam hati sambil menyesali keputusannya untuk tetap bertemu dan menerima kenyataan pahit, menanyakan kembali alasan mengapa dirinya menyanggupi ajakan Seokjin untuk berkencan di tengah malam, dan tak menaruh curiga meski laki-laki itu hanya terduduk diam sepanjang perjalanan. Namjoon berdecak kesal, harusnya dia bisa membaca mengapa Seokjin tak menghubunginya sebulan ini. Namjoon terlalu percaya diri dengan mengira keganjilan itu sebagai hal remeh, toh dia punya kesibukan yang tak mungkin diganggu dan Seokjin memiliki pekerjaan yang menyita banyak waktu. Lima tahun menjalin hubungan meyakinkan Namjoon bahwa mereka mampu bertahan lebih lama, menilai bagaimana genggamannya telah meraih banyak hal dan betapa Seokjin membutuhkannya. Ya, Namjoon sadar dirinya terlalu congkak, berpikir sikap acuhnya bukan masalah besar dan menganggap bahwa kata-kata sudah cukup mengikat Seokjin untuk tetap tinggal di sana. Selamanya.

Dan sekarang?

Namjoon memejamkan mata. Mengingat saat Seokjin berhenti berjalan begitu mereka tiba di gerbang taman, menoleh untuk memergoki Namjoon yang malah bergidik bosan dan mengusap-usap lengannya sembari tertawa kecil. Namjoon mengingat bagaimana air muka Seokjin yang sekonyong-konyong berjalan mundur dan mengalihkan pandangan, menjalin jemari di belakang punggung tanpa membiarkannya bertanya maupun menegur, hanya mengamati Namjoon lekat-lekat sebelum berujar hambar.

SHUAI | HANDSOME (NamJin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang