.
.
"Selamat pagi, hari ini pun kamu cantik sekali."
Seokjin mencibir enggan dari dapur, malas mendengar sapaan riang dari suara rendah yang sengaja dimanis-maniskan. Masih jam tujuh kurang lima, yang berarti pujian tersebut bukan ditujukan padanya, melainkan untuk pohon berdahan mungil dengan bebungaan mini menjuntai dari atas. Kesayangan Namjoon, berusia hampir separuh umurnya dan diperlakukan seperti anak sendiri. Bahkan kadang menjadi prioritas yang lebih penting dibanding Seokjin, terutama sepulang dari kantor menjelang sore. Memang bukan tanaman baru, Namjoon membelinya setahun lalu saat mereka pindah rumah, untuk selamatan sekaligus hiasan pembawa keberuntungan, katanya.
Dari yang cuma satu, sekarang berkembang biak menjadi tiga pot. Mungkin Seokjin harus bersaing dengan membeli trio anak anjing supaya dia tak ditinggalkan melongo selama empat puluh lima menit non-stop di meja makan. Hitung-hitung mengusir bosan seperti apa yang dilakukan pasangannya sekarang. Sayang jadwal pekerjaannya belum ada lowong dan rumah minimalis mereka masih butuh banyak perbaikan. Memelihara makhluk hidup dinamis yang tak bisa diam harusnya jadi urutan terakhir sampai beberapa bulan ke depan.
"Masih belum mau sarapan?" Seokjin bersandar di kisi pintu beranda sambil mendelik ketus, "Roti panggangmu keburu dingin."
"Hm—mm."
"Ayo makan dulu."
"Aku tidak lapar kok, yang."
"Tidak lapar juga tetap harus makan, lambungmu bisa berulah lagi kalau berangkat tanpa diisi," keluhnya sebal, melangkah kembali ke dalam untuk mengambil piring bagian Namjoon, lalu menyodorkan hidangannya di sisi lelaki berlesung pipi tersebut, "Ini, makanlah."
"Sayang, aku sedang bicara dengan Jjin."
"Lalu?"
"Sebentar lagi, ya?"
"Sudah hampir satu jam, Joon-ah. Kamu melakukannya setiap hari, tolong jangan tunggu sampai aku marah," tukas Seokjin, berusaha menegurnya sehalus mungkin. Batin Namjoon sangat sensitif bila sudah disangkut-pautkan dengan rasa sayangnya pada pepohonan, "Aku membiarkanmu memelihara bonsai-bonsai itu karena mereka membantumu menghilangkan stres dan jenuh selesai bekerja. Tapi bukan berarti kamu harus memperhatikannya dengan berlebihan. Baru juga mandi dan turun dari lantai dua, kamu langsung melesat menemui tanamanmu tanpa bertanya hari ini menunya apa. Kalau begini, yang terasa seperti pajangan justru bukan dia."
Bukannya tersinggung, Namjoon balas menoleh ke arahnya dengan kedip heran, "Ah? Jadi sayangku cemburu?"
"Aku tidak, cuma...."
"Sayangku cemburu."
"Shush! Dengarkan aku dulu!" gerutu Seokjin, menjejakkan kaki dua kali ke lantai karena tak mau tersipu, "Aku cuma mau kamu sadar waktu! Ini jamnya sarapan, kenapa sih ngobrolnya harus lama-lama? Apa kamu tak bisa menyapa sewajarnya, mengelusnya sebentar, lalu duduk bersamaku dan makan dengan tenang?"
Melepaskan sarung tangannya sambil mengangguk-angguk, Namjoon beringsut menegakkan tubuh di hadapan Seokjin. Menyerah. Dielus-elusnya masing-masing lengan atas pria itu agar hangat, mengingat yang bersangkutan hanya mengenakan kaus tidur di balik selembar cardigan tipis. Mungkin bahkan belum sempat bebersih. Sepasang ibu jarinya terjulur naik, mengusap-usap bagian bawah mata Seokjin yang masih tampak mengantuk, lalu berusaha tetap tersenyum sambil bergumam perlahan, "Maaf, sudah mengacuhkanmu. Tadinya aku hanya berniat sedikit balas dendam karena akhir-akhir ini suamiku selalu sibuk sampai dini hari. Tapi melihat wajahmu sedih begini, sepertinya aku harus berhenti pura-pura tuli."
"Ha?"
"Aku dengar kok, aku mendengar semua teguranmu dari dapur, tapi sengaja tak mau masuk karena masih kesal," jelas Namjoon, mengulum bibir sendiri seraya terdiam agak lama, "Kamu ingat kapan terakhir kali kita makan malam bersama? Tiga minggu lalu. Kamu selalu sibuk menerima telepon dari kantor penerbitan begitu aku siap di meja makan, dan baru selesai sekitar dua jam kemudian. Tak ada masalah dengan menyantap makanan dingin, katamu. Tidak peduli aku sudah selesai dan naik ke lantai dua, kamu tetap santai menghadapi piringmu sambil mengecek pekerjaan lewat ponsel. Sekarang coba pikirkan, apa ada bedanya dengan tindakan yang kulakukan barusan?"
Seokjin tak membalas, hanya bola matanya yang bergeser gamang diantara dua tangkup irisan roti panggang. Mulut bergeming kaku, ingin mengumpat.
Kenapa dia bisa tak sadar jika obrolannya dengan kolega malah menghabiskan waktu lebih banyak sampai Namjoon pergi tidur lebih dulu? Anggapnya, percakapan tentang agenda beres-beres kubikel dan penyerahan sisa tugas pada junior hanya akan berlangsung beberapa menit. Toh Namjoon tak memanggil maupun berseru protes dari dapur, jadi dirinya merasa aman-aman saja.
Sepertinya, terlalu nyaman dengan sifat pendiam sekaligus pengalah Namjoon, didukung status tiga tahun lebih tua, menjadikannya kurang hormat pada lelaki yang dua tahun lalu menemaninya berikrar di altar.
Dasar Seokjin bodoh.
"Kamu menunggu sampai rekan pengganti datang sebelum benar-benar resmi berhenti. Benar. Aku mengerti. Tapi menyelesaikan pekerjaan yang tersisa juga tak perlu seobsesif ini. Kamu bukan lajang lagi, ada aku di sini. Sekadar menyadari keberadaanku saja sudah membuatku senang kok," Namjoon tersenyum kecil, diambilnya piring dari pegangan Seokjin memakai sebelah tangan, sementara tangan lainnya menepuk-nepuk pipi pria itu dengan lembut.
"Maaf ya? Aku janji akan mengurangi waktuku dengan bonsai-bonsai ini. Biar kumakan sarapannya dulu. Hari ini isi tuna mayo, kan? Aku sempat melihatmu membuka kalengnya sebelum jalan ke beranda, tadi," pungkas yang bersangkutan, mengamati menu kesukaannya sembari bersiap mencicipi, "Tampaknya e....."
"Pujiannya bukan untukku."
Namjoon sontak urung melahap roti. Alis terangkat, "Apa?"
"Pujian yang kamu lontarkan di sini, setiap hari, bukan untukku," cicit Seokjin, nyaris tak terdengar, telinganya pasti sedang merah sekali sekarang. Antara rutuk tolol, malu, dengki, yang mana saja, "Aku tidak lebih indah dari pohon-pohon mungilmu."
Meletakkan makanannya kembali ke piring, Namjoon mengerjap sejenak sambil berusaha mencerna kalimat tersebut. Butuh lima detik baginya untuk mengerti rengut tebal yang tersemat di raut bersemu Seokjin, lantas terbahak pelan diiringi geleng heran yang sukar diungkapkan. Ada alasan mengapa dia begitu lemah begitu berhadapan dengan pria ini.
"Aku bahkan menyebutnya dengan namamu. Terang-terangan, lantang, dengan sangat jelas," sergah Namjoon, dijumputnya dagu Seokjin agar pandangan mereka bertemu, "Apa yang membuatmu berpikir jika pujiannya bukan untukmu, cantik?"
Seokjin mendengus lirih, "Mana aku tahu."
"Sayang, aku sudah mengakui kesalahanku lho? Apa tak ada ciuman selamat pagi, kecupan di pipi, atau sa——mmmmh."
Satu pagutan sigap menyambar bibirnya yang terbuka, diiringi dasi yang ditarik merapat dan hidung yang beradu. Beberapa kecupan mendarat seperti rentetan pelampiasan rasa bersalah. Tidak lama, namun cukup untuk menerbitkan cengir lebar di raut cerah Namjoon. Ekspresi lunak berserta sorot redup Seokjin, favoritnya, kembali muncul seperti yang dirindukan.
"Aku juga minta maaf," bisik pria itu, mengusap bekas ciumannya di bibir bawah seraya mengulum senyum gusar, "Akan kucoba lebih peka pada perasaanmu. Maaf sudah bersikap egois dan menuduhmu yang bukan-bukan."
Hela napas Namjoon berhembus maklum diikuti anggukan samar, "Kita masih belajar untuk sama-sama mengerti kok, Jjin-ah."
"Ish!! Jangan panggil aku seperti bonsaimu!"
Dan Namjoon hanya balas tertawa gemas.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHUAI | HANDSOME (NamJin)
Fanfiction[BTS - Namjin/Monjin] Namjoon tak pernah terlalu religius, apalagi memperdulikan kehakikian asal semesta. Namun jika diperbolehkan mengetahui sesuatu dari sang penguasa jagat raya, Namjoon akan memilih untuk bertanya--tentang bagaimana seorang Ki...