.
"Kerja bagus! Sampai jumpa minggu depan!!"
Seokjin melepas peralatan rekam dari telinga dan menjauhkan diri dari mikrofon. Di depannya ada Yoongi yang masih agak terbatuk karena terlalu sering memekik demi bunyi kikik Shooky. Profesi sebagai pengisi suara memang butuh kondisi prima jika tak mau kehabisan tenaga—apalagi karakter yang mereka perankan benar-benar dinamis dan tak bisa diam, kecuali satu.
Pria pemilik jiwa dari si koala biru yang selalu mendengkur dan hanya mau mendengar saran dari alpakanya itu—sudah menjulang dua langkah di sebelah Seokjin. Antara ingin menghampiri atau menjauh. Seokjin yang selalu peka, turun dari kursi tingginya dan mendekat lebih dulu dengan cengir terkembang, "Menungguku, Namjoon-ah, pasti mau mengajak makan malam, ya kan? Aduh, kamu ini, tahu saja kalau aku sedang ingin babi bakar."
"Oh, tentu. Ayo."
"L, lho? E? Eh? Namjoon-ah, aku cuma bercanda, astaga!" Seokjin cepat-cepat menarik balik tangan Namjoon yang langsung mencengkeram pergelangannya menuju pintu keluar studio, "Jangan terlalu serius dong, aku iseng bertanya karena dari tadi kamu berdiri terus seperti manekin. Ada apa? Kesulitan dengan naskah dialog hari ini? Ayo cerita sama hyung, kita diskusi berdua."
".............boleh?"
"Ayolah, Koya selalu mengadu pada RJ jika membutuhkan sesuatu dan sebaliknya, tak usah sungkan seperti kita baru kenal. Kalau karakter saja bisa begitu dekat, kenapa kita tidak?"
"Bukan, maksudku, uhm," Namjoon menyusut hidung sedikit tersipu, "Boleh pergi berdua saja denganmu?"
Dahi Seokjin tertekuk, kalimatnya terlontar heran, "Tentu, Namjoon-ah. Tidak biasanya tanya dulu. Atau kamu sedang ada masalah?"
"Tidak," senyum Namjoon tersungging, dua lekuk tajam yang entah sejak kapan selalu dinanti Seokjin, "Aku berniat membeli beberapa rajutan, dan aku butuh saran hyung soal model yang cocok. Tentu saja aku akan membelikan makan siang dan snack untuk pengganjal perut. Itu juga jika hyung tak ada jadwal syuting besok pagi."
"Mmm, coba kutanyakan manajerku dulu," ucap Seokjin tak pasti, namun lengannya sempat menepuk pundak Namjoon diiringi kerling sekilas, "Kau bisa meneleponku untuk mengingatkan. Oke, Namjoon-ah."
Tersenyum kian lebar, Namjoon mengangguk-angguk paham.
.
.
.
.
.
Sejak menjemput laki-laki itu di halte serta mampir ke tiga toko, termasuk toko roti tempatnya membeli sekantong besar kue melon, Namjoon tak sekalipun berani bertanya apakah Seokjin—yang berbalut pakaian kasual tersebut, tidak merasa kedinginan. Akhir November, anginnya sedang sangat kencang dan Seokjin malah memakai baju yang sepertinya lebih cocok dikenakan pada pertengahan musim semi. Kaus lengan panjang berkerah rendah, jins, dan mafela di bagian leher. Motif mafelanya bagus sih, putih bergaris pastel, tapi rajutannya renggang dan bahannya terlalu tipis. Namjoon yang memakai kaus berlapis sweater di balik mantel tebalnya saja masih sibuk menggigil.
"Padahal tak perlu bawa mobil segala," didengarnya Seokjin bergumam selagi sang empunya menyilangkan kaki di kursi penumpang, "Pasti repot kan?"
Namjoon melirik sekilas lalu menyahut sumringah, "Aku punya SIM kok."
"Aku tidak menanyakan itu lho?" kekeh Seokjin, "Maksudku, kamu sampai repot menyiapkan banyak hal demi belanja bersama, padahal aku tak keberatan jika harus naik bus atau kereta."
"Bukan masalah, yang penting hyung nyaman jalan denganku."
"Aih, manisnya."
Seraya berkata seperti itu, Seokjin menggerakkan tuas di bawah tempat duduk lalu bersandar agak rendah, wajahnya yang tak ditutupi kacamata tampak mengantuk, meski masih berhias senyum ketika Namjoon berkicau bila dirinya lupa letak toko aksesori yang menjual kaus kaki wol untuk bekal menghadapi musim dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHUAI | HANDSOME (NamJin)
Fanfiction[BTS - Namjin/Monjin] Namjoon tak pernah terlalu religius, apalagi memperdulikan kehakikian asal semesta. Namun jika diperbolehkan mengetahui sesuatu dari sang penguasa jagat raya, Namjoon akan memilih untuk bertanya--tentang bagaimana seorang Ki...