02. WHIPPED

12K 1K 114
                                    

BTS – Big Hit Entertainment.

Penulis tidak mengklaim apapun selain jalan cerita.

Catatan: AU. Hanya tentang perasaan Seokjin yang semakin berkembang tiap mereka beradu pandang. Untuk hal-hal kecil, untuk segala detil yang dimiliki Namjoon. Baik yang memaksanya bersabar, maupun yang membuat hatinya berdebar.

.

.


Kim Namjoon gemar sesumbar jika Kim Seokjin adalah miliknya. Setiap hari. Terhitung sejak cedera kakinya pulih total, berhasil kabur dari kamar inap, nekat membawa lari Seokjin yang sedang berkeliling menyapa pasien tepat dari tengah koridor menuju atap rumah sakit, kemudian menyatakan cinta bernaung senja, berlatar kawanan burung gereja. Berbekal kepercayaan diri juga sederet kata-kata romantis, Namjoon mencoba untuk tak terlalu puitis. Tak sungkan, serta amat beruntung sebab Seokjin menyanggupi permintaannya diiringi senyum manis.

Dia menyukai dokter muda itu. Dokter jaga berambut hitam legam yang memperkenalkan diri sebagai laki-laki tertampan seantero rumah sakit pada tiap pasien tanpa terkecuali. Enam tahun lebih tua, tapi ngotot meladeni raung protes Namjoon—mahasiswa korban tabrak lari yang menolak dibius karena takut jarum suntik. Tidak parah betul, hanya retak tulang ringan dan mampu ditangani. Namun Seokjin yang terlanjur berang, menakut-nakuti pemuda itu bahwa lukanya sudah terjangkit sepsis dan membuat Namjoon nyaris menghancurkan pintu ruang medis.

Sempat menyumpahi penolongnya agar sembelit menahun, toh Namjoon dibuat tak berkutik tatkala menyaksikan pria itu tersenyum untuk pertama kali. Serupa Seokjin yang terpukau oleh lesung pipi serta kepiawaiannya menyusun melodi. Mereka berkencan setelah empat minggu lima hari, usai Namjoon muak bertukar pandang, bosan menepis perasaan, malas pada suasana hening, juga hari-hari penuh perdebatan mengenai rentang usia yang tidak penting.

Seokjin menyukai perangai terus terang, selugas pemuda yang mengutarakan ajakan makan malam selesai jam tugas, berhias guratan merah di rautnya yang tampan. Namjoon bertanya penuh kecanggungan tentang kesediaan Seokjin pergi dengannya sore itu. Seringai riang yang terulas saat menerima respon positif membuat Seokjin penasaran. Apa gerangan yang membuat Namjoon begitu antusias hingga rela menunggu dua setengah jam, berdiri tegap, dengan masih memanggul ransel di depan gerbang rumah sakit. Awalnya Seokjin mengira Namjoon sedang bercanda dan hanya berniat jahil layaknya pasien lain yang kerap menggoda setiap jam periksa. Tapi tidak, Namjoon benar-benar menjemput, memesan taksi dengan tersipu (beralasan dirinya tak mampu mengemudi karena kuatir mencelakai orang lain) lalu mengarahkan mereka ke sebuah restoran pasta. Belum cukup sampai di sana, Namjoon turut membacakan menu, mengajaknya ngobrol tentang kegiatan yang terjadi hari itu, menyeka bibir Seokjin yang belepotan oregano, membayar harga makanan usai meminta ijin dengan teramat sopan, serta mengantarnya pulang hingga pintu depan.

Selalu ada alasan bagi Seokjin untuk terpesona pada Namjoon.

Ada saatnya Seokjin senggang, lalu iseng menerka-nerka di sela-sela pekerjaannya—tentang mengapa dia bisa tertarik pada pemuda itu. Fisik? Tentu. Perawakan Namjoon jelas sangat rupawan. Namun di luar wujud yang nilainya mencapai sepuluh, dia jauh lebih mengagumi perangai Namjoon. Auranya hangat, sikapnya menenangkan. Pembawaannya mungkin sedikit acuh, namun Seokjin tahu, Namjoon adalah orang yang sangat memperhatikan hal-hal kecil, termasuk ekspresi dan perubahan nada bicara. Entah berapa kali Seokjin harus bersumpah pada Namjoon bahwa dirinya hanya kurang tidur—saat pemuda itu mendadak datang ke rumah sakit dan berlari seperti kesetanan menuju ruang praktek. Sebabnya, tidak lain adalah swafoto yang dikirimkan Seokjin sebagai ganti ucapan selamat siang. Bukannya memberi pujian atau komentar penyemangat, Namjoon langsung memegang kedua pipi Seokjin dan bertanya cemas soal kantong mata yang menggantung samar di wajah kekasihnya.

SHUAI | HANDSOME (NamJin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang