.
Disclaimer : BTS – Big Hit Entertainment
Catatan : AU. Karena Seokjin yang sedang iseng adalah ancaman paling mematikan untuk pertahanan Namjoon.
.
.
.
Atmosfir di apartemen Namjoon tak pernah terasa cukup nyaman, entah akibat begitu banyak pakaian tercecer, warna dinding yang terlalu kuno, maupun jumlah boneka monokrom bermuka aneh yang kurang disukai Seokjin. Tapi dibanding bersantai di apartemen miliknya yang selalu wangi dan tertata, Seokjin justru lebih sering menemukan dirinya mampir ke tempat Namjoon tanpa alasan jelas. Seminggu tiga kali, atau mungkin dua hari sekali. Seperti hari ini.
Seokjin berjingkat menuju ruang tengah usai menjejalkan baju-baju bekas Namjoon ke mesin cuci tanpa memisahkan antara jins dan kaus putih. Tidak ada yang menyuruhnya menangani urusan rumah orang lain, tapi siapa yang tahan mendapati baju kotor bertumpuk di atas ranjang yang bahkan seprainya saja sudah nyaris jamuran? Pertanyaan tentang bagaimana kulit Namjoon bisa tetap mulus dan halus sementara pemuda itu bahkan jarang mandi adalah misteri yang enggan digali Seokjin.
Menaikkan bingkai kacamata dengan gaya, pantatnya mendarat gontai di samping Namjoon. Sejenak tadi mereka sempat bertengkar soal film yang akan ditonton menunggu kurir pesan antar datang (tadinya Namjoon ingin memesan dimsum, tapi Seokjin yang ngotot menolak karena tak mau mulutnya berbau bawang putih pun memilih paket nasi Hainan dan sup asparagus) —yang tentu saja dimenangkan oleh Seokjin diiringi tinju terangkat tinggi sambil memegang DVD film pilihannya dan berpose bak liberty. Sampul depan bergambar sepasang muda-mudi berlatar senja dengan moncong kapal menghiasi bagian bawah. Yang benar saja, dengus Namjoon sewot, Titanic?
Toh meski sempat mengajukan protes, agaknya Namjoon mulai menikmati film yang katanya sudah ditonton Seokjin lebih dari seratus kali. Terlihat dari cara duduknya yang tak lagi bersandar dan condong ke arah televisi, juga tak ambil pusing untuk berkomentar ketika Seokjin mematikan lampu kemudian duduk di dekatnya.
Dekat sekali.
Seokjin mengulum bibir, dengan tirai tertutup serta hanya diterangi cahaya dari kotak kaca di hadapan mereka. Namjoon tampak begitu serius, teramat fokus sampai insting busuk Seokjin muncul dan berniat mengusik. Bukankah ini kesempatan bagus? Suasana yang tercipta oleh adegan picisan antara tokoh utama yang bertukar pandang di dek kapal membuat udara di ruangan tersebut berubah sensual. Seokjin tanggap, lantas bergerak merapat seraya menjulurkan telapak tangannya perlahan ke arah lutut pemuda itu. Menyadari tak ada reaksi, tangannya bergeser menangkup paha Namjoon. Ibu jari dan telunjuknya meraba lembut bagian dalam menuju lipatan selangka.
Namjoon berjengit sekilas, meski tak benar-benar menghindar dan tetap berusaha menonton. Seokjin melanjutkan sentuhannya lebih intens, mengusap kulit di balik celana pendek yang dikenakan Namjoon serta menyusupkan tangannya lebih leluasa. Diusapnya paha Namjoon naik turun dengan tempo lambat, memancing responnya menggunakan sekaan ujung jemari. Bahu pemuda jangkung itu bergidik samar namun masih belum memalingkan wajah.
Seokjin berhenti melanjutkan aksinya hingga mereka sampai pada adegan ciuman Jack dan Rose di ujung kapal. Jari-jari panjangnya merayap nakal, menyusuri sekaligus menyibak ujung bokser Namjoon selama prosesnya. Namjoon beringsut di sebelahnya, berusaha mencerna plot yang makin menegangkan. Ekor mata Seokjin meruncing penuh maksud sewaktu yang bersangkutan mendapati sebentuk lengan tengah bergerilya menelusuri pahanya. Namjoon menelan ludah, kemudian beranjak mengalihkan perhatiannya pada layar dengan mata mengawang.
Gerakan Seokjin kembali tertahan menunggu babak dimana Rose meminta dirinya digambar. Namjoon beringsut lagi kala merasakan lengan Seokjin menggeliat naik. Pemuda berambut hitam itu menyeringai selagi menaruh telapaknya di atas kain bokser, bukan di permukaan kulit. Dirasakannya Namjoon mengubah posisi duduk sambil menggeram samar seolah ingin mengucapkan sesuatu, tapi Seokjin lebih cepat mencengkeram selangkangannya dan Namjoon sontak tercekat. Napasnya yang mendesah menerbitkan kilat jumawa di raut Seokjin. Dengan cepat, jemari Seokjin meraih gundukan kemaluan diantara paha Namjoon lalu menggenggam kuat sebelum melepasnya dan menjauh begitu saja. Tangannya terlipat di depan dada sementara senyumnya mengembang tanpa dosa.
Garis bibirnya terungkit makin tinggi saat Namjoon bergegas menegakkan tubuh dan melesat menuju belokan. Bersiul riang, Seokjin melangkah ke dapur untuk membuat sepoci teh hangat selagi menanti Namjoon kembali. Dua cangkir kosong, dua balok gula coklat di tiap tatakan. Tak perlu repot memanggil, Namjoon pasti mencarinya setelah menyelesaikan urusan seksual di kamar mandi.
Benar saja, derap kaki Namjoon langsung bergema mengisi dapur tepat saat Seokjin sedang meniup uap teh. Mata masih berair sisa pelampiasan, suara rendah meraung berang, "Meninggalkan orang setelah dirangsang seperti itu namanya kejahatan, tahu!" gerung Namjoon buas. Kerut geram di wajah tampannya tak sedikitpun menggoyahkan seringai Seokjin yang menyesap minuman dengan santai.
"Kejahatan? Apa kau lebih senang jika remasannya kulanjutkan selagi filmnya terus berjalan? Nanti kalau adegan serunya terlewat bagaimana? Waktu pertama nonton dulu, matamu sampai tidak berkedip saat kapalnya terbelah. Atau jangan-jangan......." Seokjin memiringkan kepala, beberapa helai rambut halus jatuh di pipinya yang merona, "Namjoonie lebih suka melakukannya sambil menonton adegan mesum?"
Kening Namjoon tertekuk panik, "A, adegan apa? Bagian mana?"
"Aduh manisnya, pura-pura tidak tahu," celetuk Seokjin, cangkirnya ditaruh di samping poci, "Walau cuma sebentar, apa yang dilakukan Jack bersama Rose di dalam mobil kuno itu jelas bukan sedang main petak umpet lho, Namjoonie," dijentiknya dagu Namjoon menggunakan telunjuk, "Gugup ya? Wajahnya jadi merah."
Mendengus, Namjoon balas merentangkan lengannya untuk memegang kedua bahu Seokjin dan mendesak pemuda itu merapat ke sisi meja, mata tajamnya menyipit dengan dahi terlipat tujuh, "Aku tidak gugup."
Alis kanan Seokjin terangkat seolah bertanya, tapi tak ada kalimat yang keluar. Dibiarkannya Namjoon menarik lepas kacamatanya dengan kasar serta beralih menyerbu bibir tanpa perlawanan, bola matanya memperhatikan bagaimana sorot yang tadinya bergerumuh itu melunak, meredup dan akhirnya tertutup. Ciuman Namjoon selalu terasa manis seperti parfait, basah seperti lelehan embun di luar gelas es kopi yang dipesan pemuda itu pada pertemuan pertama. Kecupannya jauh dari kesan sempurna, namun selalu memabukkan dan membuat pertahanan Seokjin melemah.
Merespon, Seokjin melingkarkan lengannya di leher Namjoon dan memeluk erat. Pinggulnya dielus sayang selagi Seokjin beringsut, sebelah mata terbuka mendapati mimik Namjoon yang sibuk memagut. Kelopak mata terkatup dan hidung beradu. Lidah Namjoon menjilat bibir bawahnya dengan lembut. Terlalu hati-hati, nikmat, selalu mengundang hasrat. Seokjin tak ingin permainannya berakhir.
Bergeming cukup lama, ditariknya gemas leher Namjoon sembari menggigit bibir pemuda itu hingga pemiliknya terkesiap dan ciuman mereka terlepas. Belum sempat Namjoon menggumamkan keberatan, kepala Seokjin lebih sigap berkelit melewati jangkauan si empunya rumah yang tersengal, meraih cangkir teh dari permukaan meja, kemudian melenggang ke ruang tengah sembari tersenyum puas.
Menggoda kesabaran Namjoon adalah hobi yang tak pernah membosankan.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHUAI | HANDSOME (NamJin)
أدب الهواة[BTS - Namjin/Monjin] Namjoon tak pernah terlalu religius, apalagi memperdulikan kehakikian asal semesta. Namun jika diperbolehkan mengetahui sesuatu dari sang penguasa jagat raya, Namjoon akan memilih untuk bertanya--tentang bagaimana seorang Ki...