14. FEVERISH

5.9K 576 44
                                    

.

"Demam?"

"Iya, kak," suara Jungkook menyahut dari sambungan seberang, "Tiga puluh delapan derajat."

"Setinggi itu?" Namjoon menutup pintu lemari es memakai tumit, ponselnya terjepit diantara pundak dan telinga kiri, "Sejak kapan?"

"Tadi siang, ditelepon kak Sandeul. Kak Seokjin tidur sesiangan di klinik kampus karena tak enak badan dan bolos tiga mata kuliah. Sorenya kujemput pakai taksi dari sekolah, tapi suhu badannya malah makin naik."

Namjoon meneguk air mineral dari botol yang baru saja diambil, lalu mendesis tak senang, "Sudah ke dokter?"

"Sudah, kok. Kebetulan kak Yoongi baru pulang kerja dan kumintai tolong, mumpung mobilnya belum masuk garasi. Sudah dibelikan obat juga, tapi kak Seokjin bersikeras tak mau menelan, malah berguling memunggungi kami meski dipaksa buka mulut," nada Jungkook terdengar khawatir bercampur jengkel. Namjoon bisa membayangkan bagaimana repotnya pemuda lucu itu saat ini, perpaduan Seokjin dan sakit kepala selalu berada di jalur bandel yang sama.

"Tetanggamu tidak sibuk? Tolong sampaikan terima kasih dariku."

"Siap, kak."

"Ya sudah, aku ke sana sekarang, tolong bersabar sedikit lagi, " pungkas Namjoon mengakhiri pembicaraan, lantas bergegas menyimpan makan malamnya yang belum sempat tersentuh ke lemari es. Diambilnya beberapa lembar pakaian ganti, menyambar mantel beserta laptop, lalu melesakkan semuanya ke dalam ransel. Setelah memastikan tak ada yang tertinggal, disambarnya kunci mobil sambil mendesis.

.

.

.

.

"Apa saja yang kamu kerjakan kemarin? Kok bisa sampai demam tinggi begini?" sergah Namjoon heran sambil mengibaskan termometer dan meletakkannya kembali di atas meja lampu. Seokjin tak menjawab, hanya menggulirkan mata menghindari pandangan sang kekasih. Tubuhnya tertutup selimut sampai ujung dagu, dahinya tertutup plester penurun panas dan wajahnya bersemu merah.

"Kak Sandeul bilang kemarin dia melihat kak Seokjin mengerjakan tesis di perpustakaan sampai malam, padahal anginnya sedang kencang dan salju mulai turun. Aku sudah bilang kalau hari ini tak usah ke kampus, tapi kak Seokjin ngotot berangkat dan tak mau dinasehati," Jungkook menjelaskan sembari menaruh nampan berisi semangkuk bubur dan segelas air di dekat Namjoon.

Kalau saja kepalanya tidak pusing sekali, Seokjin pasti sudah memelototi atau menendang adiknya. Tapi Jungkook justru mencibir tak mau disalahkan dan Seokjin balas membuang muka. Namjoon yang enggan meladeni keduanya hanya menggelengkan-gelengkan kepala sambil meniup perlahan asap samar yang menguar dari mangkuk.

"Bisa bangun?" tanya Namjoon lembut, Seokjin cekatan menggeleng.

"Aku tak mau makan."

Namjoon menatapnya penuh tanda tanya, alis terangkat dan Seokjin mengerang sebal.

"Mulutku pahit."

Namjoon masih menatapnya intens, malah makin tajam. Mulut Seokjin mengerucut, hendak membantah saat telapak tangan pria itu terentang di depan muka.

"Sepuluh suap, tak ada tawar-menawar," seloroh Namjoon tegas, "Tuan Min dan Jungkookie sudah repot-repot membuatkan bubur ini untukmu. Mau mengecewakan mereka?"

Seokjin melirik ke arah Jungkook yang mengangguk-angguk menyetujui ucapan Namjoon. Lelaki itu akhirnya menyerah dan berusaha mengangkat tubuhnya dengan susah payah hingga Jungkook buru-buru membantunya duduk. Namjoon menyuapinya perlahan-lahan, memastikan Seokjin mengunyah serta menelan dengan baik sampai suapan kesepuluh, lantas sesuai janji, Namjoon pun berhenti. Dibimbingnya Seokjin meneguk air, meminum obat, kemudian membantunya kembali berbaring.

Bersenandung, Jungkook membereskan dan membawa pergi bekas makan kakaknya, seraya iseng menyinggung tentang kebiasaan Seokjin yang suka memarahi Jungkook kalau sedang susah makan sampai lelaki itu merengut hebat dan nyaris melempar gelas ke arah adiknya—kalau saja Jungkook tak keburu melesat keluar kamar. Lidah pemuda bongsor tersebut terjulur mengejek sebelum menghilang di balik pintu.

"Sakit-sakit kok masih galak sih, cantik?" goda Namjoon sambil mengusap rambut Seokjin penuh perhatian. Seokjin melengos malas, kendati beringsut memiringkan tubuhnya menghadap Namjoon yang kini tersenyum. Pergelangannya terjulur di udara dan disambut Namjoon dalam genggaman erat, lesung pipi pria itu melekuk ramah diiringi usapan telapak tangan yang menjalarkan rasa nyaman.

"Kamu marah?" bisik Seokjin lirih. Namjoon agak memiringkan kepala tak mengerti.

"Aku tak bilang kalau aku sakit," lanjut kekasihnya dengan takut-takut.

Bahu Namjoon berkedik santai, "Sedikit, tapi aku tak akan meributkan hal itu sekarang. Lagipula kamu sudah mau makan, aku cukup lega."

".....maaf."

"Tak usah dipikirkan, yang jelas panasmu harus turun dulu."

Mereka terdiam sesaat sebelum Namjoon menunduk mengecup kening kekasihnya dengan sayang. Seokjin mendesah panjang.

"Aku juga minta maaf karena tak bisa menyiapkan apapun, padahal kemarin Valentine."

Kali ini Namjoon terbahak seraya menatap lelaki pujaannya dengan pandangan tak percaya, "Kamu masih sempat-sempatnya memikirkan perayaan? Sudahlah, Jinseok, itu tak penting."

Seokjin meraung tak terima, "Penting dong! Kan itu hari jadi kita yang ketiga!"

Namjoon menyentil pucuk hidung mancung tersebut, pelan, "Cintaku akan tetap untukmu meski tak dirayakan. Persetan dengan hari jadi maupun Valentine. Yang penting bagiku sekarang adalah kamu cepat sembuh. Itu saja."

Seokjin masih cemberut penuh sesal selagi Namjoon mengelus pipi tembamnya menggunakan buku jari, "Selama ini kamu selalu melakukan banyak hal untukku, termasuk mondar-mandir menyiapkan pesta ulang tahun walau tak diminta. Tapi serius, tolong berhenti melakukannya jika kondisi tubuhmu tak memungkinkan. Sekadar pesan pendek atau kecupan darimu sudah cukup kok, Jinseok."

Seokjin yakin demamnya bertambah parah karena wajahnya terasa makin panas, entah oleh suhu tubuh atau akibat kalimat Namjoon. Balas disekanya punggung tangan pria itu seraya memandang Namjoon dengan bola matanya yang besar. Yang bersangkutan tersenyum lebih lebar, membalas pandangan Seokjin lalu perlahan menunduk, cukup rendah hingga Seokjin mampu menangkap apa yang hendak dilakukan. Sigap, ditariknya ujung selimut menutupi bibir bawah yang hampir dipagut.

"Nanti tertular," cicitnya, panik.

"Tak apa," tukas Namjoon acuh, satu tangan bergerak menurunkan selimut serta mendaratkan kecupan singkat diiringi seringai samar, "Yang namanya cinta itu harus berbagi kan?"

"Sembarangan...."

.

.

SHUAI | HANDSOME (NamJin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang