.
.
Seokjin mengerang kaget dan Namjoon menggerung, membenamkan dirinya dalam-dalam tanpa menggubris lengkingan suara dari pria yang kini mencakar lengannya. Kepekaan pendengaran Namjoon seolah menghilang tertiup libido yang meluap-luap.
"Na—Namjoon-ah! Pe, pelumasnya....!!"
"Maaf, hyung, tak sempat. Nikmati saja."
"Sakit, bodoh!! Argh!!"
Protes Seokjin tertelan oleh jeritan keras, kakinya mengapit dan mengait pinggang Namjoon berbekal reflek. Kuku-kuku jemarinya menggores lengan atas Namjoon saat organ intim pemuda itu melesak dalam, menggasak titik sensitifnya berkali-kali. Tiap kali, tercatat di ingatannya, bagaimana Namjoon selalu terasa begitu besar dan membuat dinding rektumnya seperti terbakar.
Monster. Umpat Seokjin. Remaja berusia sembilan belas tahun tak seharusnya menguasai teknik seks sehebat ini. Tak sewajarnya seorang remaja biasa sanggup bergerak seperti binatang buas, liar, dan berani menghunjamkan kejantanannya tanpa permisi. Namun Namjoon mampu melakukan semuanya. Sangat sensual, keras, kasar, dan demi Tuhan, rasanya benar-benar sakit. Namun Seokjin tahu dia tak bisa protes—dan tak akan dikatakannya pada ekspresi penuh nafsu yang terpatri di wajah Namjoon. Satu bagian dari dirinya menyukai perangai seperti ini, menyukai saat-saat dimana pemuda itu berlaku kurang ajar, saat dimana Namjoon mendominasi permainan mereka, serta memaksanya bercinta meski dalam waktu yang tidak memungkinkan, dalam posisi paling tidak menyenangkan, dan di tempat paling tidak menggairahkan.
Dan di sanalah mereka, bergumul di toilet nomor tiga lantai atas rumah sakit, bercumbu dan mendesah bergantian, tanpa banyak bicara, tanpa persiapan, tanpa pelumas.
Namjoon merasakan kemaluan Seokjin berdenyut pelan di genggaman saat dokter muda itu menggeliat, pun berusaha mengantisipasi stimulan yang mendadak menyerbu, bergulung-gulung seperti ombak, hampir menyapu pandangannya menjadi buram, meski Namjoon bertahan untuk tetap bergerak. Gigi berderit, mencegah pelepasannya datang sebelum Seokjin terpuaskan.
Lelaki itu terlihat sangat menggoda dengan mimik kesalnya yang seksi, bernapas susah payah dan terus-terusan mendesah di bawahnya. Seokjin yang seperti ini, menyelimuti sekaligus menjepitnya teramat ketat. Pemandangan elok berpadu bibir bawah yang digigit kuat hingga memutih, menyebarkan getar penuh kenikmatan diiringi lenguh manja—yang hanya didengar Namjoon jika Seokjin sedang tak berdaya oleh dominasinya.
Beberapa kali sentakan keras, dan Seokjin pun melengkungkan tubuhnya dengan jerit kencang. Mata dibutakan oleh siluet putih yang memeta memenuhi pandangan. Namjoon turut mendesis, tak lagi sanggup membendung orgasme begitu rektum Seokjin mencengkeram dan meremasnya begitu kuat. Pemuda itu menyentak sekali lagi sebelum akhirnya menyerah, memejamkan mata dan melepaskan hasratnya di dalam tubuh Seokjin.
Tersengal hebat, Namjoon terpaksa menumpu lengan di tatakan toilet. Napasnya berhembus perlahan meniup ujung rambut Seokjin yang susah payah menengadah, dada naik turun terengah, lantas menatapnya sambil mengernyit. Lengan pria itu menyentuh pinggulnya, beralih melirik sejenak ke arah bawah, dan sontak berjengit ketika kemaluan Namjoon ditarik menjauh.
Diperhatikannya organ tersebut dengan nanar. Masih tampak besar dan tegang walau sudah keluar begitu banyak. Seokjin berdecak pelan seraya menyusupkan wajahnya diantara kain kemeja Namjoon yang basah oleh keringat.
Paham, Namjoon melingkarkan salah satu lengannya di sekeliling bahu Seokjin, kemudian beringsut mengendus helaian rambutnya, "Hyung....."
"Hmmm?"
"Lagi, yuk?"
Seokjin menggerung tak senang sambil menggeliat di dada Namjoon. "........tidak sekarang, kalau Taehyung bertanya kenapa aku pulang tertatih-tatih, dia bisa curiga."
"Ayolah, adikmu tahu tentang kita," rayu Namjoon, mulutnya sudah sibuk mengecupi leher Seokjin dengan bernapsu, "Akan kubelikan dia sepatu baru sepulang dari sini."
Seokjin mengedikkan bahu, "Tidak usah, jangan membuatnya terbiasa menerima imbalan untuk hal aneh," tukasnya, berusaha berkelit, "Lagipula ini di luar rencana dan aku sama sekali tak memiliki keinginan untuk bercumbu sore-sore."
"Aku yang mau."
"Ish, kenapa aku harus punya pacar mesum begini?"
"Mesum bagaimana, hyung?" kilah Namjoon jahil, "Aku hanya mengikuti insting. Musim gugur kan musim cinta."
"Cinta, Namjoon-ah. Bukan bercinta."
"Sama saja."
"Terserah," gerutu Seokjin, menyibak rambut hitamnya dengan gestur yang—menurut Namjoon, sangat cantik untuk diamati, "Setiap kali melihatku berjalan mendekat, sorot matamu itu seperti ingin melahapku hidup-hidup."
"Salah?"
"Seram, tahu."
Kekeh Namjoon terbit sedetik berikutnya, "Maaf, aku juga tak bisa mengontrol diri. Mungkin karena jas putih membuat Seokjin-hyung terlihat dewasa, sangat mengundang, menggiurkan, dan..."
"Jangan dilanjutkan!" seru Seokjin sebal, hendak membuang muka, namun sebuah telapak tangan besar cekatan menangkup rahangnya. Satu kecupan hangat mendarat di bibir disertai gumam lembut.
".....aku mencintaimu, hyung."
Seokjin menghela napas panjang, memutar matanya pasrah dan membalas ciuman Namjoon sambil tersenyum samar.
"Aku benci padamu. Terlalu benci sampai namamu terngiang di kepalaku setiap hari. Sekarang kita keluar dari sini, aku lapar."
Namjoon menyeringai puas. Diikutinya tindakan berdalih permintaan untuk merapikan baju, mengingat almamaternya kusut di sana-sini akibat kegiatan mereka sesaat tadi. Sementara Seokjin memilih untuk mengedarkan pandangan di celah pintu bilik, memeriksa kalau ada orang lain yang berjalan menyusuri koridor menuju toilet yang dimaksud. Helai-helai rambut disisir seadanya memakai jari seraya melengos melihat Namjoon yang sudah kembali tampan tanpa cela. Persis kondisi awal ketika pemuda itu mampir ke rumah sakit setengah jam lalu.
Iseng, Namjoon berinisiatif mencondongkan kepala di dekat telinga sambil bersiul, "Hyung seksi sekali."
Seokjin mengibas jas prakteknya keras-keras, pura-pura tak mendengar dan bersiap keluar bersama Namjoon yang mengekor di belakang.
PLAK!!
"Sakit! Ow! Kim Namjoon!!"
"Maaf, tanganku tak tahan melihat bokong bagus," Namjoon bergumam dari balik bahunya dan buru-buru berlari keluar sembari terkekeh. Tak lupa menyapa dokter Jung yang menekuk kening, heran melihat putra direktur rumah sakit mereka bersikap seceria itu.
"Kenapa Namjoon ada di sini, dokter Kim? Bolos kuliah?"
Seokjin berdehem lirih, lantas berkedik acuh, "Entahlah."
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHUAI | HANDSOME (NamJin)
Fanfiction[BTS - Namjin/Monjin] Namjoon tak pernah terlalu religius, apalagi memperdulikan kehakikian asal semesta. Namun jika diperbolehkan mengetahui sesuatu dari sang penguasa jagat raya, Namjoon akan memilih untuk bertanya--tentang bagaimana seorang Ki...