.
.
Yang terindah, Kim Seokjin.
Masih ingat pertama kali kita bertemu? Aku masih, dan akan selalu. Wajahmu yang bersinar diantara tirai hujan benar-benar memukau, begitu mempesona kendati terhalang bahu-bahu raksasa yang menjagamu layaknya pusaka. Kau seperti harta yang kutemukan dalam keadaan papa. Berkilau tanpa cela, terpahat oleh penciptamu dengan sempurna.
Sayangku, Kim Seokjin.
Kau adalah rumahku. Menjalani hari denganmu terasa bagai rutinitas yang alami. Kau adalah malaikat dan surgaku, lelah dan penatku lenyap dalam pelukmu. Sejuta pujian tak akan pernah cukup untuk menggambarkan betapa berartinya kau untukku. Tempatku adalah hatimu, hatimu yang bersih dan penuh berisi cinta. Hati yang selalu memaafkanku dengan begitu mudah, yang membimbing dan melindungiku, yang senantiasa melihat kebaikan dari orang lain, yang mengajarkanku untuk berhenti curiga dan menggantinya dengan kasih tak terhingga. Cintamu berbisik padaku, bahwa apapun yang terjadi, kau akan tetap berdiri di sisiku, memberiku kekuatan dan kehangatan dengan sebuah senyum lembut. Senyum yang kurindukan saat kita terpisah lautan, terbayang dan terus kuimpikan.
Matahariku, Kim Seokjin.
Kau sering protes dengan lucunya tentang kekasih menyebalkan yang jarang mengutarakan cintanya padamu. Sejujurnya, aku tak cukup percaya diri untuk bicara langsung di hadapan wajahmu yang cantik dan mengaku bahwa kau adalah duniaku. Hidupku dimulai dan berakhir dengan namamu. Kau menempati hatiku dan dia berdebar hanya untukmu. Kau adalah alasan di tiap senyum dan tawa yang kulontarkan, seperti mantra yang melekat di ingatan dan mustahil untuk dilupakan. Kau penyihir yang kusayangi, satu-satunya yang kuijinkan menyakitiku saat merajuk dan membuat kepalaku sakit oleh rindu. Aku berharap bisa muncul di kamar tidurmu, meloncat memelukmu dalam balutan piyama warna biru muda yang kau belikan pekan lalu, membawa dua cangkir cokelat panas bertabur gumpal marshmallow serta krim tebal favoritmu, menertawakanmu yang minum dengan rakus, menghujanimu dengan kecupan lalu berkelakar hingga kita tertidur.
Seruniku, Kim Seokjin.
Kau sadar betapa besar pengaruh yang kau berikan padaku? Meski tengah dikejar pekerjaan yang menumpuk hingga akhir pekan, aku tak lagi mudah uring-uringan atau melempar semua benda di atas mejaku seperti dulu. Katakanlah aku seperti menemukan sudut pandang lain dari tugas-tugas ini. Sungguh berbeda dengan sisi pesimisku yang kerap frustasi dan melarikan diri di belasan cangkir kopi agar kewarasanku terjaga sampai pagi. Tiap merenggut rambut sambil mengeluh, kata-katamu kembali terngiang—tentang bagaimana mereka membutuhkanku, berharap banyak pada kemampuan berpikirku, dan hanya aku yang mampu membaca keinginan ayahmu. Kau menyanjungku lebih tinggi dari angkasa, mendorong rasa optimis yang luput kusadari, lalu menyebut dirimu sebagai penggemar terbesarku. Kau memiliki aura positif yang luar biasa, menular, dan membuat cara berpikirku semakin mirip denganmu. Aku menyukai diriku yang baru. Diriku yang jatuh cinta padamu, lagi, dan lagi.
Malaikatku, Kim Seokjin.
Kuatnya perasaan ini kadang membuatku tak paham. Selama dua puluh lima tahun, baru kali ini aku bertekuk lulut tanpa daya pada seseorang. Ingin kecupmu, ingin sentuhan lembutmu. Aku tak kuasa menahan bagian diriku yang tergila-gila pada semua itu. Kau adalah hal termanis yang pernah ada, hadiah terbaikku dari pemilik jagat raya.
Jinseok, cintaku.
Aku tak ingin membayangkan hidup tanpamu. Cintaku terikat dan kupersembahkan untukmu, bersama rindu yang ingin kutuntaskan dengan sebuah pelukan. Segera, setelah kau membaca kertas picisan ini dan memukul perutku karena bertindak konyol seperti pemuda kuno yang tak tahu malu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHUAI | HANDSOME (NamJin)
Fiksi Penggemar[BTS - Namjin/Monjin] Namjoon tak pernah terlalu religius, apalagi memperdulikan kehakikian asal semesta. Namun jika diperbolehkan mengetahui sesuatu dari sang penguasa jagat raya, Namjoon akan memilih untuk bertanya--tentang bagaimana seorang Ki...