-
Jika aku telanjang di depanmu saat ini, apa yang akan kau lakukan?
–
Namjoon bergeming, satu tangan masuk di saku celana selagi tangan lainnya tak bergerak di sisi tubuh. Dagunya terangkat angkuh, tak bereaksi meski tindakan Seokjin membuat lembar-lembar kerjanya berserakan di atas meja, termasuk dua tempat pena yang jatuh ke lantai dan dua bingkai foto. Potret dirinya serta memori berdua bersama pria itu. Mungkin pecah, mungkin pula remuk, tapi Namjoon tak mau ambil pusing.
"Buktikan."
Alis rapi Seokjin terangkat, "Huh?"
"Buktikan kalau kau bersedia telanjang untukku."
Darah Seokjin menggelegak. Tiga bulan lebih dia diacuhkan dan ketika akhirnya memberanikan diri menduduki tumpukan laporan pria sialan ini—ancamannya justru dibalikkan dengan seringai licik dan kalimat remeh? Memang dasar brengsek, berani-beraninya menantang tanpa rasa bersalah. Dipikir Seokjin akan takut? Ujian mental menghadapi mentor sedingin direkturnya selama bertahun-tahun bukan berakhir tanpa hasil. Kim Namjoon sangat lihai memporak-porandakan suasana hati seseorang, gemar mengintimidasi tenaga-tenaga medis yang dianggap tidak kompeten, sekaligus ahli mengatur emosinya agar tak terpancing dengan lawan bicara. Misterius, ambisius, dan berbahaya. Namun Seokjin yakin dirinya sudah cukup kebal dengan hal tersebut.
"Sesibuk apa pekerjaanmu sampai menjauhiku sejak awal tahun ini?"
"Tiga operasi batista selama satu setengah bulan terakhir, menangani konsultasi dari orangtua pasien yang harus menjalani bedah jantung, tidak termasuk diskusi dengan tim dokter gabungan dari Jerman," tukas Namjoon, menyingkirkan dengan sengaja seluruh sisa buku di mejanya ke bufet telepon, masih enggan menoleh, "Aku tidak pernah berjanji akan menjadi pemuas napsumu dua puluh empat jam dan tujuh hari seminggu. Tapi kurasa aku harus angkat topi karena kau tampak sangat frustasi siang ini, Dokter Kim."
"Aku tidak."
"Kuharap kau tidak menggoda asistenmu dan meminta seks padanya selama tak kutemui."
"Aku tidak serendah itu, Direktur."
"Lalu? Membayangkan dirimu disetubuhi di kamar gelap, hm?"
".....kalau iya, kenapa? Penasaran?"
"Tidak terlalu," Namjoon mundur sekilas dari hadapannya, nada serak yang ketus bercampur sangsi, "Tapi aku ingin tahu bagaimana caramu memuaskan diri. Bukankah itu ide bagus untuk menegaskan tawaranmu tadi?"
"Kau pasti bercanda."
"Oh, aku selalu serius, Dokter Kim," dengus yang lebih tua, intonasinya datar, tak terdengar bimbang apalagi ragu, juga dengan tenang mendaratkan diri di kursinya tanpa mengalihkan mata dari sosok Seokjin yang masih terpaku di tepi meja. Dahi terlipat, tangan mengepal di permukaan, "Tapi kalau kau takut, atau malu—"
KAMU SEDANG MEMBACA
SHUAI | HANDSOME (NamJin)
أدب الهواة[BTS - Namjin/Monjin] Namjoon tak pernah terlalu religius, apalagi memperdulikan kehakikian asal semesta. Namun jika diperbolehkan mengetahui sesuatu dari sang penguasa jagat raya, Namjoon akan memilih untuk bertanya--tentang bagaimana seorang Ki...