.
.
Kim Seokjin menutup ponsel sambil menghela napas di sisi jendela ruang kerjanya di lantai tiga. Rasanya dia sudah terlalu lama menghabiskan waktu bersandar di sudut itu sambil memperhatikan keriuhan di halaman parkir depan. Garis bibir terpapar datar, ibu jari bermain-main di tombol daftar kontak. Naik beberapa baris, lalu turun beberapa baris lagi. Selalu berhenti beberapa detik di sebuah nama berawalan konsonan yang sangat menyita fokus, agak lama, namun tak juga menekan tombol untuk menelepon.
Seokjin gamang, sedikit menganggap dirinya pengecut, tapi mau bagaimana lagi.
Pikirannya mengawang. Beruntung sedang tidak ada rapat maupun tumpukan tugas di atas meja. Hari ini adalah perayaan ulang tahun kepala bagian, dan nyaris semua orang sedang sibuk merayakannya di lantai dasar. Melihat keriuhan, tawa ceria, dan balon warna-warni mengambang di sana-sini, Seokjin jadi ingin bertemu Namjoonie. Ah, bukan, Namjoon—ralat Seokjin. Dia tidak punya hak untuk memanggil pemuda itu dengan tambahan sufiks lucu yang kurang sopan.
Walaupun mereka kerap makan siang bersama di kafetaria kantor, walaupun Namjoon sering sekali menunggu jam kerjanya selesai kemudian dengan sumringah mengajaknya minum kopi, walaupun mereka sering sekali makan malam entah di restoran atau di dapur apartemennya, walaupun Namjoon suka meraih lengannya tiap kali mereka menyeberang atau berjalan di trotoar yang penuh manusia, walaupun Namjoon selalu memandang penuh arti setiap Seokjin melakukan sesuatu yang lucu dan memujinya tanpa ragu, walaupun Namjoon akan berhenti sesaat di ambang pintu usai mengantarnya pulang, menatapnya dalam dengan hasrat menyala di matanya, tersenyum manis lalu mengucapkan selamat malam—Seokjin masih belum memberikan kepastian. Kendati seluruh tindakan di atas sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan perhatian istimewa yang ditujukan padanya, Kim Seokjin masih membisu hingga hari ini.
Seokjin tahu pemuda itu menyukainya. Seokjin tahu pemuda itu sangat mengagumi dan menyayanginya. Mata kepalanya menyaksikan sendiri bagaimana Namjoon berubah dari mahasiswa serampangan yang mendadak menyatakan cinta di peron stasiun, menjadi seorang pemuda yang lebih dewasa selama dua tahun terakhir. Berbekal alasan jatuh hati sejak memergoki Seokjin menawarkan tempat duduk pada seorang nenek yang tak kebagian bangku, Namjoon mulai membuktikan bahwa dirinya tak sekadar bercanda. Tak suka menerima sanggahan tentang perbedaan usia, Namjoon tekun memperbaiki sikap beserta cara bicara, bahkan terang-terangan menyerahkan plakat cumlaudenya di bulan kesebelas. Hal yang mengejutkan Seokjin sampai nyaris tersedak kopi selagi menunggu kereta datang.
"Kamu lulus? Bukannya awal tahun ini masih semester lima?"
"Aku sudah bilang tidak akan main-main kan, Kak?" tukas Namjoon sewaktu dipelototi, "Lamaranku diterima dan aku akan mulai bekerja bulan depan."
"Oh, selamat."
Dan Namjoon tersenyum samar, "Mungkin aku tak bisa lagi menjumpaimu di peron, tapi aku berjanji akan mampir ke tempatmu jika ada senggang."
Bulan-bulan setelahnya Seokjin tak sanggup menampik kehadiran Namjoon yang kian intensi mengisi hari-harinya. Entah bagaimana pemuda itu mampu mengatur waktu pribadi, beristirahat, menangani pekerjaan, serta tetap punya waktu untuk menemui sang pria pujaan. Lima hari berkutat sampai nyaris tak menghubungi, Sabtu Minggu dicurahkan sepenuhnya demi membayar segala hutang komunikasi berbumbu rayuan dan sedikit basa-basi. Dengan segala kode kentara sekaligus usaha yang dilakukan Namjoon, Seokjin mengerti bahwa pemuda itu serius mendekatinya.
Begitu seriusnya sampai-sampai Seokjin takut menyakiti Namjoon. Begitu seriusnya sampai Seokjin merasa tak pantas. Begitu seriusnya sampai Seokjin khawatir tentang reaksi yang akan didapat bila ternyata dirinya tak seperti yang dibayangkan Namjoon. Siapa yang akan menjamin pemuda itu tak akan kecewa jika penampilan luar Seokjin berbanding terbalik dengan kepribadian dan sosok aslinya? Bisa-bisa Namjoon langsung pergi untuk mencari target yang lebih muda dan menarik.
Seokjin membenturkan kepalanya pelan ke jendela, sangat sadar bahwa dia berlaku tak adil pada pemuda itu. Tak pernah menolak pendekatannya, tapi buru-buru menghindar tiap Namjoon hendak mengatakan hal penting. Karena sungguh, membuka kembali pintu hati yang terkunci oleh puluhan gembok, belasan palang beserta tumpukan kursi dan batangan besi—sebagai penanganan trauma akibat perceraiannya beberapa tahun yang lalu itu, terbilang sulit. Benar-benar sulit dan menakutkan.
Temboknya begitu kokoh, namun Namjoon tetap berusaha merobohkan dinding tersebut tanpa kenal lelah. Sorot lunaknya, sentuhan lembutnya, juga senyum manisnya. Binar jernih di tiap tatapnya dan perhatian tulus Namjoon seperti mendobrak keras pertahanan Seokjin yang hampir berkarat.
Dan saat ini dia ingin bertemu Namjoon. Ingin sekali mendengar tawanya, ingin mengacak-ngacak rambutnya, atau sekadar mendengarkan pemuda itu berceloteh panjang lebar tentang kegiatannya sehari-hari. Tapi dirundung rasa bersalah akibat kurangnya ketegasan, Seokjin tak sanggup menelepon pemuda itu. Hanya mengirim pesan pun jemarinya tak kuasa. Sebagai pria matang yang harusnya lebih responsif, Seokjin justru merasa tidak berguna.
Tepat ketika memutuskan untuk memberanikan diri, tiba-tiba ada sesuatu yang menarik perhatian Seokjin di bawah sana. Sebuah motor besar yang amat dikenalnya, berbelok memasuki pelataran tamu setelah menunjukkan identitas di pos jaga. Terdorong reflek, Seokjin menekan kaca jendela dengan telapak tangan, serasa hendak menembus penghalang dan meloncat ke lantai dasar saat itu juga.
Namjoon betul-betul ada di jangkauan. Baru saja turun dari motor dan membuka helmet, lalu berjalan santai menyeberangi pelataran menuju pintu utama, bermaksud menanyakan nama Seokjin pada resepsionis seperti biasa. Ada senyum kecil terukir di wajah tampan itu, menular pada langkah lebar yang terlihat bersemangat.
Hanya dengan memandang beberapa detik saja, dada Seokjin mendadak dipenuhi gejolak yang hangat. Desir menyenangkan bercampur kangen mendesak-desak mencari jalan keluar. Hatinya, yang entah sejak kapan telah dimiliki oleh seseorang, bercampur keharusan untuk bertemu dan berbicara. Tempat yang tadinya sudah tertutup rapat dan penuh pertahanan, perlahan-lahan terbuka dan siap menyambut seseorang untuk mengisi kekosongan.
Sekonyong-konyong, Seokjin sudah berlari menuruni tangga dengan tergesa. Persetan dengan antrean lift, juga tak peduli akan langkah yang nyaris tersandung dan sepatu yang hampir tergelincir di koridor. Masa bodoh pada segelintir rekan kubikel, atasan, junior, atau mungkin tamu lain yang menoleh kaget saat dirinya berlari melintas.
Sungguh, Seokjin enggan menggubris apapun di sekelilingnya. Dengan acuh, batinnya membuang semua ketakutan berlapis kekhawatiran yang membebani langkah, dan menyuruhnya melesat secepat mungkin. Tujuannya adalah bertemu pemuda itu sekarang juga. Karena jika tidak, nyeri rindu yang bergerumuh di dada akan berangsur membunuhnya.
Kim Seokjin tak ingin berhenti sebelum mengatakan cinta kepada Kim Namjoon. Hari ini.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHUAI | HANDSOME (NamJin)
Фанфик[BTS - Namjin/Monjin] Namjoon tak pernah terlalu religius, apalagi memperdulikan kehakikian asal semesta. Namun jika diperbolehkan mengetahui sesuatu dari sang penguasa jagat raya, Namjoon akan memilih untuk bertanya--tentang bagaimana seorang Ki...