13. Mad, Sexy, Cool (Extended)

12.9K 695 155
                                    

.

.

Untuk pertama kalinya dia bingung harus apa. Rasanya begitu aneh dan tak nyaman, pulang ke apartemen sendiri namun canggung bukan main. Bila biasanya Seokjin akan langsung mengambil minum atau camilan di dapur sepulang mengajar, atau mengintip kamar Jungkook untuk memastikan bocah itu sudah terlelap—maka tidak kali ini. Keberadaan pria jangkung di belakangnya tak pelak ikut andil dalam proses detak jantung yang kian memburu. Seokjin lupa kapan terakhir kali menyanggupi permintaan seseorang untuk mengantarnya pulang, mungkin bahkan sebelum mengadopsi Jungkook dan masih terlalu kaku menyikapi keintiman. Tapi sekarang, usianya yang sudah lewat kepala tiga tak bisa lagi mengelak tentang arti dari semua ini.

Napasnya tercekat kala sepasang lengan merengkuh bahunya dari belakang, disusul kepala yang menyusup di sela-sela anak rambut dan mengecup tengkuknya dengan seduktif. Satu, dua kali. Seokjin bergidik, sejenak berpaling ke samping, membiarkan bibir itu menggerayangi daerah lehernya, menggigit pelan kulit bahu, lalu mengulum lipatan telinga diiringi hembus napas menggoda.

Astaga, Seokjin membatin, apa mereka benar-benar akan melakukannya?

Jika saja dia tak memendam perasaan pada lelaki tampan ini, mungkin segalanya akan lebih mudah, Seokjin tinggal melepaskan pegangan dan mengusir tamunya pulang dengan menggunakan putranya sebagai alasan. Cuek, tanpa beban, tidak seperti ini. Tiba-tiba saja otaknya membeku, salah tingkah, panik bercampur bingung membayangkan penilaian Namjoon ketika mendapati dirinya tanpa busana nanti. Seokjin mungkin sangat percaya diri untuk beberapa hal, namun memperlihatkan tubuh telanjang di depan atasannya bukanlah suatu topik yang patut dibahas. Selain dalam bunga tidurnya, mungkin.

Pipinya bersemu, agak sebal karena dirinya bukan lagi anak SMA yang mudah tersipu. Masa-masa manisnya jatuh cinta harusnya sudah jauh meninggalkan Seokjin bersama gelora masa muda, tapi kehadiran Namjoon seolah menepis anggapan tersebut dan menariknya kembali dalam gelenyar degup beserta banjir serotonin yang memabukkan. Maka, setelah mampu menata deru dada, Seokjin meletakkan tangan di atas pergelangan Namjoon, lalu memutar tubuh menghadap pria tersebut. Ada getar bahagia melihat senyum Namjoon terulas penuh, sangat menawan, menyilaukan.

"Pak Rektor, saya....."

Namjoon menyeka bibir bawah Seokjin memakai tepi ibu jari, ada nada geli menghiasi suara beratnya, "Masih bersikeras memanggilku begitu?"

Ringis kecil mendahului jawaban Seokjin, "Maaf, kebiasaan," tambahnya, mata meredup saat keningnya dikecup, "Namjoon-sshi."

"Hilangkan sufiksnya."

"Namjoonie?"

"Yeah...." yang dipanggil sontak menggerung, "Benar, seperti itu. Damn, you should use that nick earlier."

Seokjin tak cukup paham makna reaksinya, tapi sorot mata Namjoon yang menggelap seperti mengisyaratkan jika panggilan tersebut berhasil membangkitkan sesuatu dalam diri pria itu. Namjoon, tampak mengerti, mengarahkan kedua lengan Seokjin melingkari pundak, lalu terbahak ringan sebab yang bersangkutan berjengit kala pinggangnya ditarik merapat.

"Gugup?"

"Sedikit. Kau tidak?"

"Aku menunggu terlalu lama untuk ini," sergah Namjoon jujur, mencondongkan hidung untuk menghirup aroma yang menguar di sisi wajah Seokjin, campuran sitrus, kelopak mawar, serta vanilla. Wangi memikat yang membujuk kuat agar segera dicicipi. Kulit berpeluh akibat efek alkohol ditambah semburat di kedua pipi Seokjin juga membuatnya tampak kian memukau, "Kau tak pernah peka pada kondisi, atau sengaja menyiksaku yang hampir memuncak melihatmu menjilati jari saat makan siang tempo hari?"

"Eh? Jadi pelototan itu bukan karena ingin minta makananku?"

"Dibanding seluruh menu yang ditawarkan pramusaji, aku lebih berselera melahap pak dosen anatomi."

SHUAI | HANDSOME (NamJin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang