16. An Apple A Day Can't Keep The Villain Away (Side Story)

5.6K 479 50
                                    

.

"Tidak tidur, pak polisi?"

Seokjin tak menyahut, kedua tangannya masih sibuk bergerak di atas barisan huruf, layar monitor di depannya menyala redup di tengah keremangan kamar tidur yang hanya diterangi satu lampu meja. Luka di lengan dan jahitan di kepala Namu sudah mulai kering dan itu memberinya cukup waktu untuk membalas sejumlah e-mail dari kesatuan besar. Hanya saja, dengan kondisi yang membaik, Namu jadi lebih sering terjaga daripada sebelumnya. Pun iseng mengeluh bahwa serangan serempak atas dasar salah paham yang sempat terjadi tempo hari adalah contoh bahwa manusia termasuk makhluk paling egois sejagat raya.

"Kenapa? Mimpi buruk soal diserbu torpedo oleh angkatan udara?"

Dan Koya yang nyaris hancur jika ranger berwarna merah itu tak melindungi kami dengan perisai robot raksasanya, batin Namu, yang tentu saja tak perlu diucapkan terang-terangan. Mata Seokjin memandangnya nanar seolah paham yang hendak dikatakan.

"Tidurlah, aku masih harus bekerja."

"Tidak."

"Apa bunyi ketikan ini mengganggumu?"

"Kau yang duduk di situ jauh lebih menggangguku," gerung Namu, setengah mendesis memutar tubuhnya dan menurunkan kaki dari kasur, Seokjin tahu Pornesia tak punya kebutuhan khusus untuk tidur dan makan, tapi dengan luka seperti itu, harusnya monster sialan tersebut memilih berbaring saja, "Tinggalkan benda itu dan cepat kemari."

"Aku akan tidur sebentar lagi."

"Sebentar lagi? Sebentar lagi pagi," Namu menyahut ketus, langkahnya menapaki lantai menghampiri punggung Seokjin yang bersandar di kursi, satu tangannya diletakkan di bahu pemuda itu sementara lima jari lainnya menggenggam bagian atas monitor, "Berhenti atau kupatahkan benda ini."

"Kalau kau masih punya waktu melakukan tindakan yang tidak berguna, lebih baik simpan tenagamu untuk hal lain," tukas Seokjin datar tanpa beralih dari layar, gerakan jarinya sedikit melambat, "Menulis tidak akan membuatku sakit, kalau itu yang membuatmu kuatir."

Namu tak menjawab, kedua lengannya masih berada di posisi semula, namun kepalanya perlahan mendekat dan bayangannya berangsur menutupi layar. Berdecak, Seokjin pun mendongak, hanya untuk menemukan pucuk hidung Namu yang begitu dekat dengan wajahnya. Bola mata ungu menatap Seokjin, sejumlah anak rambut yang tergerai di dahi tak mampu menyembunyikan sorot tajamnya.

"Keras kepala."

"Kau juga."

Senyum miring Namu terulas sekilas sebelum bibirnya mendarat di pipi Seokjin, mata terpejam dan napas berhembus pelan. Ditahannya sejenak untuk memberi kecupan kedua di kening pemuda itu, kemudian menjauh sambil bergumam lirih, "Tidak usah mengajakku berdebat, aku tak tahu harus berbuat apa kalau kau menangis lagi."

"Aku tidak menangis."

"Aku memergoki airmatamu, pak polisi. Kau menangis waktu kondisiku sekarat di markas prajurit milik Tuan Min."

Seokjin melengos, tangan terkibas acuh, "Simpati."

"Bukan naluri?"

Tinju sang komandan terkepal tepat di bawah dagunya, mata menyipit seram.

"Begitu lebih baik," kekeh Namu, mengalihkan lengan kanan dari sandaran menuju tengkuk Seokjin, lantas mengusap sayang. Rasa geli dan desir aneh yang ditimbulkan memaksa pemuda itu mengerjap heran. Namun belum sempat menyadari keadaan, lengan kiri Namu sudah menyusup di lipatan kaki—dan detik berikutnya, Seokjin sudah terangkat dari lantai serta merapat di dekapan, sontak membuatnya mencengkeram bahu Namu dengan panik, "TURUNKAN AKU! Kau sedang terluka!!"

SHUAI | HANDSOME (NamJin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang