.
Wangi mawar yang mendadak semerbak di sekelilingnya tak membuat Namjoon menoleh, masih serius membolak-balik buku. Langit cukup terang meski matahari mulai bergeser, dan sosok yang tiba-tiba berdiri di hadapannya tak ayal membuat pemuda itu mengernyit. Lembar halaman pustaka selanjutnya jadi terhalang bayangan.
"Apa maumu, Putra Antheia?"
"Apa itu pertanyaan yang pantas diajukan untuk calon suamimu, Joon-ah?"
Tampan. Pangeran penguasa bunga dan tanaman, yang sore ini mengenakan setelah kerah tinggi diikat lilitan kain merah muda di bawah dada tersebut memang sangat tampan. Rambutnya berkilau tertimpa cahaya, kulit seelok gading, ditambah mata jingga yang tengah redup menatap Namjoon. Ibunya tergila-gila pada pemuda itu sejak pertama bertemu di sebuah pesta musim panas dan segera menanyakan pada Antheia apakah Seokjin sudah memiliki pasangan, berdalih Namjoon mengalami pubertas kedua berjenis langka. Ayahnya yang menyukai pesta menyetujui usulan tersebut tanpa pikir panjang, opini retorisnya bertitah bila pernikahan antar dua putra dewa akan menjadikan keturunan mereka memiliki kekuatan yang menakjubkan.
Namjoon hanya melengos waktu itu, Dionysus hanya menginginkan penerus yang tertarik mewarisi kemampuannya mengolah anggur, mengingat anak satu-satunya sama sekali tak tertarik menghadiri keramaian. Tapi hei, seorang keturunan tak selamanya bisa menangkap seluruh bakat orangtua yang kompleks. Paling tidak, Namjoon merasa cukup lihai dalam meramu frasa bercampur gubahan sastra. Dan jika ibunya yang berisik itu bermaksud menjadikan Seokjin sebagai menantu, seharusnya yang bersangkutan menilik bagaimana kondisi putranya terlebih dahulu.
Tidak ada yang menyangkal bila anak semata wayang dewa pesta memiliki paras menawan dan gagah. Namun tidak semua penghuni istana tahu bila pemuda berambut putih itu memiliki kepercayaan diri yang teramat rendah jika tubuhnya tak berbalut jubah draperi atau menenteng tongkat. Dionysus bercerita pada setiap tamu yang datang jika putranya hanya bisa tersenyum saat sedang berada di puncak pepohonan, duduk dengan kaki bergelantung di tepi tebing, atau menenggelamkan diri di tumpukan literatur. Dewa-dewa lainnya akan terbahak sambil menangkis tuduhannya dan mengatakan bahwa sang tuan rumah pandai berkelakar.
Namun hal itu benar adanya.
Karena itu, tiap kali Seokjin singgah di tempat favoritnya, menara sayap kanan yang sangat nyaman dan dipenuhi burung-burung kecil, Namjoon akan melempar seribu satu alasan supaya tak diajak bercakap-cakap. Jangankan bertatap muka, mengendus sekelebat wangi bunga saja sudah cukup untuk memaksa Namjoon angkat kaki dari menara. Kedatangan Seokjin benar-benar impromptu, tahu-tahu sudah duduk manis di seberang tugu, atau menyilangkan tungkai mengamatinya belajar.
"Demi hamparan kebun anggur Tuan Raja Perayaan, kenapa kau tak pernah mau memandangku?"
"Aku bukan pendamping yang pantas untukmu," Namjoon menyahut datar dari balik bahu, menyambar tongkatnya seraya menapak perlahan ke arah berlawanan, "Kemenakan Persefone Agung yang kemilau dan jelita, berhak mendapat calon yang sepadan dengan keindahannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
SHUAI | HANDSOME (NamJin)
Fanfiction[BTS - Namjin/Monjin] Namjoon tak pernah terlalu religius, apalagi memperdulikan kehakikian asal semesta. Namun jika diperbolehkan mengetahui sesuatu dari sang penguasa jagat raya, Namjoon akan memilih untuk bertanya--tentang bagaimana seorang Ki...