07. Hyung, Please Notice Me

6.6K 601 64
                                    

.


"Oh Tuhan, aku benci bulan Desember," Seokjin menggerutu, kakinya dihentak-hentakkan ke lantai, berharap gesekan antara sol sepatu laras serta permukan solid akan menjadikan tubuhnya sedikit hangat. Wujudnya sudah hampir tak bisa dibedakan dengan beruang kutub, terbungkus mantel tebal dengan tudung menutup hampir seluruh kepala, menyisakan muka dan beberapa helai rambut yang tertiup pasrah. Matanya menelisik tajam pada sosok lain di kursi dekat pintu bus, sibuk berkutat dengan ponsel sambil memeluk ransel erat-erat bagaikan jimat, "Kuharap kau mampu memberi alasan yang masuk akal tentang kenapa aku harus patuh untuk mengikutimu ke tempat seperti ini."

Seokjin terus meracau meski sadar dirinya tak digubris, Namjoon hanya menoleh sekilas lalu menghela napas. Kacamatanya melorot mengekor gerakan. Bukannya tak tahu Seokjin benci udara dingin, tapi apa boleh buat. Mereka terjebak di dalam bus dan tak bisa berbuat banyak.

Awalnya baik-baik saja, sungguh. Dia berhasil mengajak seniornya tersebut pergi jalan-jalan sepulang kuliah dengan menumpang bus, pun menyaksikan bagaimana Seokjin merapatkan mantel sambil terus berkomentar pedas mengenai cuaca dan membuat Namjoon berpikir, apakah itu sebuah pelampiasan karena dosen filsafat mendadak memberi tes esai yang mengharuskan mahasiswanya menjawab pertanyaan sebanyak dua halaman, atau hanya karena kedai roti bakar di kantin kampus tutup selama musim dingin. Biasanya Seokjin tidak secerewet itu meski angin berhembus sekencang topan. Entahlah.

Kondisi dalam bus berangsur nomal seiring mesin pemanas yang bekerja penuh, menilai dari gerutuan Seokjin yang akhirnya berhenti dan beringsut menanyakan kemana mereka akan pergi.

"Nanti juga tahu," Namjoon tersenyum simpul, sukses membuat Seokjin melirik, meski segera berkedik masa bodoh. Namjoon memasukkan kedua lengannya di saku jaket, tampak gugup. Sesekali berniat mencuri pandang, pura-pura menaikkan kacamata, namun Seokjin terlampau sibuk menggeretakkan gigi-gigi dan menggosok telapak tangan, mencoba mengusir rasa beku meski caranya klasik. Sudut bibir Namjoon membentuk ringis tipis, rencananya bisa berjalan lancar.

Harusnya.

Sampai pada kesimpulan bahwa dewa-dewa langit sedang tak berminat merestui harapannya. Bus yang mereka naiki mendadak mengeluarkan suara gerung keras sebelum mendadak berhenti, di tengah jalan, tiga puluh menit dari keberangkatan, di tengah turunnya salju dan jauh dari pemukiman.

"Astaga," gerung Seokjin terdengar lagi, sesuai perkiraan. Keduanya menatap keluar jendela dimana asap hitam menguar dari belakang bus, tercengang sembari menebak-nebak apa yang terjadi. Supir tergopoh-gopoh keluar untuk memeriksa kerusakan sambil terbatuk-batuk, diikuti petugas lain yang turut melesat kaget. Sejenak, yang terdengar hanya bunyi berisik bercampur desisan dan keluh penumpang, disusul supir yang kembali ke bangku kemudi dengan ekspresi panik. Kemejanya penuh bekas asap.

"Maaf, mesinnya rusak," tukasnya penuh nada menyesal, lalu membungkuk minta maaf pada sejumlah penumpang yang ada di dalam bus, termasuk dua mahasiswa yang mengerjap bingung di kursi mereka. Satu terlihat menganga, atau lebih tepatnya, sedang mengutuk waktu menjelang senja yang harus dihabiskan di jalanan. Sementara yang satu lagi mencoba mencari solusi bagaimana cara menyusun rencana cadangan—sekaligus menghindar kalau-kalau sang senior bermaksud menusuk perutnya memakai gunting kertas yang selalu dibawa Seokjin di ransel depan.

Bukan hal menyenangkan untuk jalan kaki menuruni tanjakan menuju halte terdekat, apalagi dinaungi bulir-bulir salju yang turun perlahan. Indah, namun sayang waktunya tidak tepat. Empat-lima penumpang mengatasi kebosanan dengan menelusuri ponsel masing-masing, selagi sisanya mencari kehangatan dengan bergerombol di pinggir jalan. Hamparan salju memperlambat langkah, beberapa kali Seokjin terhuyung, oleng tak tentu arah, sampai akhirnya terpeleset dan jatuh beralas pantat.

SHUAI | HANDSOME (NamJin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang