[BTS - Namjin/Monjin]
Namjoon tak pernah terlalu religius, apalagi memperdulikan kehakikian asal semesta. Namun jika diperbolehkan mengetahui sesuatu dari sang penguasa jagat raya, Namjoon akan memilih untuk bertanya--tentang bagaimana seorang Ki...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
.
.
"Kim berdua itu bermesraan lagi, padahal sedang di kantin."
"Eh? Mereka pacaran?"
"Sejak SMA. Anak baru pasti belum tahu ya?"
.
.
.
Seokjin tergelak keras, gunting lawan kertas, artinya dia menang dan berhak membalas jentik menyakitkan yang diterimanya sesaat tadi. Pantat bergeser sedikit dari kursi, telapak tangan dikibas-kibas bak atlet lempar lembing yang sibuk pemanasan, serta sigap melontarkan telunjuknya sendiri di depan dahi seorang pemuda yang terpejam setengah mati. Sudut bibirnya membentuk cengir miring selagi menghitung maju ala-ala algojo jaman batu.
"Satuuuu."
Lawan bicaranya meringis kecut.
"Duaaaa."
Bahu ikut menciut.
"Tiiii—ga!!"
TAK!!
Kepala pemuda di hadapannya terlempar ke belakang bersama dua tangan yang melindungi dahi sambil mengerang tanpa suara. Seokjin terpingkal-pingkal dengan tawa kencang bernada khas yang membuat pengunjung di sekitar mereka berpaling sambil menggeleng-gelengkan kepala. Sudah jadi pemandangan umum melihat pasangan Kim saling mengerjai di jam makan siang. Mulai dari adu panco, gulat jari, perang gumpalan tisu, sampai permainan suit yang berakhir dengan saling jitak dahi seperti tadi. Semua hapal siapa yang selalu tertawa melengking tiap jam setengah satu di meja sudut kantin, hapal bila Kim Seokjin pasti meminta dua bangku kosong sambil meringis lucu ke konter bibi Choi, hapal pesanan makanannya yang tak berubah sejak semester satu, juga hapal dengan siapa si anak dekan itu duduk.
Semua tahu, dan mereka tak pernah mengganggu.
.
.
.
"Padahal lengkingannya sekencang itu, tapi mahasiswa lain cuma tertawa maklum."
"Karena dia seperti matahari, semua orang di sini menjulukinya pemberi energi."
"Lalu yang sebelahnya itu dianggap apa?"
"Awan. Tempat Kim Seokjin bersembunyi saat mencari ketenangan."
.
.
.
"Ini kopimu, Kim!" seorang senior menaruh gelas plastik tinggi beraroma moka sambil agak merengut, "Harusnya aku memilih Juventus seperti kata Taehyung, haish! Padahal uang sakuku mulai menipis, malah terseret permainan begini. Kenapa tebakanmu tak pernah salah sih?"
"Kalah lagi ya, hyung?"
"Aku sudah yakin Madrid yang akan melaju ke final!"
"Kan sudah kubilang Namjoonie punya kemampuan cenayang."
"Iya, iya.......eh?" sang senior memicing kala mendapati dua lembar ribuan won tersodor di atas meja disertai telunjuk yang menuding gelas kopi pemberiannya. Sekilas mencerna kondisi, lalu buru-buru menggoyangkan telapak tangan sungkan, "Tidak, tidak, Kim! Aku cuma bercanda! Kau tak perlu bayar, itu hakmu karena menang taruhan!!"
Si pemuda menggeleng singkat, lalu menyelipkan paksa lembar-lembaran uang tersebut ke kepalan tangan seniornya. Sedotan dikulum cepat, pertanda minumannya telah dicicipi dan tak bisa dikembalikan. Seokjin terbahak geli selagi senior itu menghela napas tanpa bantahan.
"Baiklah, kau selalu bertenggang rasa seperti ini. Tapi terima kasih banyak, man," ditepuknya bahu pemuda Kim sembari menggerakkan dagu ke arah Seokjin, "Andai bukan punya orang, sudah kujodohkan dia dengan adikku. Eunji butuh pria baik seperti pacarmu."
"Haish, tak usah pegang-pegang! Pergi sana!"
Deret bangku di depan mereka ikut menyoraki sebab pemuda Kim langsung merengkuh bahu Seokjin yang melengos usai digoda. Senior mereka pun kembali ke tempatnya sambil cekikikan puas, mengacuhkan segumpal tisu bekas yang terlempar mengenai almamater, "Harusnya kutendang kaki pendeknya dari bawah meja, dasar mulut ember!"
Pemuda Kim mengelus-elus punggungnya dengan raut gemas, lalu mendadak menempelkan gelas kopi ke pipi Seokjin yang sontak berjengit dan memukul lengannya karena kaget. Kekeh hening di dekatnya menular seketika hingga Seokjin tak mampu melawan efeknya, disesapnya sedotan agak lama lalu memberikan tanggapan agar yang bersangkutan turut menikmati.
Tidak ada yang pernah tahu bagaimana Kim Namjoon bersuara, sosoknya sunyi meski penuh ambisi dan kepintaran yang mumpuni. Senyumnya berkilau memberi sugesti, mengisyaratkan kepada sekelilingnya bahwa dirinya tak perlu dikasihani. Otaknya brilian, gesturnya menawan, dan pribadinya begitu mengagumkan. Namjoon bak cinta pertama semua orang, termasuk Seokjin yang tak sengaja menginjak sepatunya saat pertama kali bertemu di sekolah menengah.
Siapa yang peduli pada sepi, bila sepasang mata dan lesung pipi sanggup mengirimkan rasa yang lebih dalam daripada kata?
"Eh, Namjoonie," Seokjin memainkan daun telinga pemuda itu agar pemiliknya menoleh, "Pulang kuliah mau mampir ke rumah tidak?"
Kepala Namjoon bergerak miring ke kiri. Kedip satu, dua kali.
"DISURUH MELAMAR TUH!!"
"Kode, Kim! Kode!!"
"Gerak cepat ya, kalian!! Salam pada calon mertua!!"
"Berisik!!" Seokjin berteriak lantang sambil mengacungkan tinjunya ke udara kendati telinga memerah parah. Namjoon tetap memandang lurus menanti kelanjutan, sebelah lengan beringsut menyelipkan anak rambut Seokjin ke belakang telinga dengan sayang, "Ayah dikirimi banyak sekali tiram dari bibi di Busan, keberatan membawanya sedikit untuk ibumu nanti?"
Bibir Namjoon mengerucut maju.
"Tidak merepotkan, sungguh. Ibu bahkan memasak sup tiram dan asinan kerang khusus untukmu. Anggap saja imbalan karena sudah membantunya memperbaiki lemari es minggu lalu. Dan, uh....."
Pemuda itu masih tercenung.
"Aku kangen dibonceng sepedamu. Jadi....."
Menganga paham, Namjoon mengangguk setuju. Lengan lainnya digunakan meraih telapak tangan Seokjin, direntangkan supaya jari-jari itu terbuka, kemudian ditempelkan ke dadanya sembari tersenyum lebar. Mata redup menatap lembut, melayangkan bisik terima kasih yang mampu didengar Seokjin dalam batinnya. Menyusup hangat menjalari dada, sehangat genggaman Namjoon yang tak dilepas meski bulir embun gelasnya berjatuhan di permukaan meja.
.
.
.
.
"Kim Namjoon memang tak bisa bicara, tapi Seokjin justru jatuh cinta pada kekurangannya."