19. Everythin' Goes

4.6K 490 48
                                    

.

Pernahkah kau berpikir soal kematian, Namjoon-ah?

.

.

.

.

Lagi.

Namjoon terbangun dengan sakit kepala, tangannya reflek meraba tempat kosong di sisinya. Setengah mengantuk, pria itu menggosok tengkuk dan menguap malas, mimpi yang sama selama empat hari dan mengonsumsi obat tidur malah membuat kepalanya tak mampu berpikir jernih saat terjaga. Seprai wangi lavender bermotif bidak catur hadiah dari iparnya, kusut karena belum diganti, sementara seluruh pelayan rumah baru akan kembali akhir pekan. Rangkaian bunga di dekat jendela itu juga tak terkena sinar matahari hingga kuntum-kuntum mawarnya layu dengan tangkai terkulai. Namjoon mengedarkan pandang ke sekeliling dan mengusapkan kedua tangan ke wajahnya seraya melirik jam di sisi lampu meja—pukul lima lebih lima, terlalu dini untuk membuka jendela dan minum kopi kecuali dia berniat lari pagi. Berdecak malas, pria itu bangkit sambil mengernyit saat mengendus bau keringat dari kemeja kerja yang dipakainya tidur. Piyama hitamnya bergelayut di gantungan baju dan Namjoon terlalu mengantuk untuk mengambilnya semalam.

Diperiksanya sejumlah dokumen di atas meja, lalu berusaha menajamkan penglihatan demi membereskan sisa-sisa pekerjaan dengan agak meraba-raba. Pahanya membentur ujung kursi dan pria itu mengumpat. Namjoon tidak suka mengundur waktu, hanya perlu memeriksa dua lembar lagi dan dia bisa kembali tidur.

Tapi tidak. Dia enggan bermimpi dengan keringat dingin yang akan ditanyakan si bungsu jika terbangun. Sudah sebesar itu tapi tetap keras kepala jika otaknya tak bisa menerima. Namjoon harus ingat anak itu tidak mirip dirinya, setidaknya dengan perbandingan bahwa Jungkook terlalu peka dan dia tidak. Taehyung mungkin saja sama, Namjoon tak pernah sanggup menebak apa yang sedang dipikirkan oleh anak sulungnya itu. Taehyung bukan tipe yang suka memberinya salam setiap kali bertatap muka atau menyapanya saat mereka sedang berada di ruang makan, bibirnya yang selalu tersenyum tanpa ekspresi seolah menjadi pertanda kuat agar siapapun tak melontarkan pertanyaan padanya. Minggu lalu dia mampir dari kampus untuk mengantarkan soju dan sekardus bacaan yang terbungkus kain putih dan disegel dengan tali merah. Buku-buku yang dibeli Taehyung tiap dua hari sekali dan penuh dengan judul kesukaan Namjoon. Yang bersangkutan baru pulang dari kantor saat menemukan kiriman itu tergeletak di beranda dengan kertas bertuliskan pesan singkat.

Aku sudah merelakannya, Ayah.

.

.

.

Namjoon menyibak handuknya sekilas, air hangat dan serbuk mandi jeruk membuat matanya cukup terjaga untuk berjalan sendirian di halaman belakang. Kakinya menapak gontai, tak peduli salju bisa membuatnya terpeleset jika kurang hati-hati. Jungkook selalu cerewet dengan halaman yang memisahkan rumah dengan dapur, begitu banyak detik yang terbuang demi mengambil minuman jika jaraknya sejauh itu. Namjoon tahu, itu hanya alasan untuk menutupi sifatnya yang agak pemalas. Toh Jungkook tak pernah protes lebih jauh, mulut besarnya akan bungkam setelah lima menit berkicau.

Namjoon memilih rumah itu untuk tempatnya pulang, tempatnya melepaskan rasa penat dan jenuh akibat pekerjaan, pikiran, dan segalanya yang menuntut untuk segera dibereskan di luar sana. Rumah itu tempatnya kembali untuk disambut dengan senyuman dan ucapan selamat datang, gelak tawa Jungkook dan secangkir kopi panas. Seringkali kepalanya akan semakin pusing karena dipicu tingkah bandel si setan kecil, namun anak bungsu yang paling disayanginya itu adalah salah satu hal terpenting yang harus dijaga Namjoon sampai nanti. Belahan jiwanya menginginkan anak laki-laki itu setengah mati dan Namjoon dibuat tersenyum mengingat bagaimana riuhnya suasana halaman saat dirinya membawa pulang Jungkook yang baru berusia setahun. Semuanya sibuk menarik perhatian sosok mungil tersebut, termasuk Taehyung yang antusias memaksanya untuk turun dari gendongan. Bisik-bisik gemas dari tiga pelayan pun penuh mengisi udara diikuti langkah perlahan Seokjin yang turun menapaki tangga, senyum terkembang dengan tangan terentang bahagia. Hari ketiga di awal musim gugur, Namjoon tak pernah lupa.

SHUAI | HANDSOME (NamJin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang