.
.
Dalam satu detik, seluruh perhatian tersita bagai kedatangan tamu istimewa.
Ratusan pasang mata, yang tertuju ke satu titik saat sesosok pria turun dari taksi di gerbang sekolah itu mengerjap bersamaan. Memakai sweater longgar dipadu celana jins beserta sepatu olahraga, berjalan memasuki arena reuni angkatan. Masih tampan, kian memukau, dan tampak tidak berbahaya. Bukan apa-apa, legenda tentang sepasang siswa berandal dari sekolah menengah Yonghwa yang beredar sejak tiga belas tahun lalu, masih santer terdengar dari mulut ke mulut. Salah satu pelakunya adalah yang tengah mereka amati saat ini.
Kim Seokjin, dulunya berambut legam berpulas garis hitam di bawah mata, hobi mengenakan aksesori grup musik metal kemanapun dia pergi—juga sangat sensitif terhadap ujaran kata 'manis' yang kerap dilontarkan orang lain ketika pertama kali bertemu. Sejatinya raut Seokjin memang sangat menawan, namun yang bersangkutan menolak dicap seperti itu karena baginya, kata tersebut terkesan lunak, lemah, dan sama sekali tidak sangar. Memegang sabuk hitam di karate dan taekwondo, Seokjin siap menghajar siapapun yang masih menyapanya dengan pujian tertentu, baik adik maupun kakak kelas, terutama yang berhubungan dengan wajah. Hobinya bolos pelajaran eksakta, tiduran di loker sampai jam pelajaran berakhir, dan duduk menghabiskan camilannya di ujung kelas tanpa memperhatikan guru. Tidak ada yang berani menegur, mengingat pengaruh ayahnya di komite wali murid dan pamannya yang menjabat di jajaran elit pendidikan. Cara bicaranya kasar dan gampang naik darah, apalagi jika sudah bertemu saingan dari kelas seberang.
Kini Kim Seokjin yang melangkah mengitari meja prasmanan terlihat jauh lebih santai dari sosok dalam bayangan. Berambut cokelat susu, sorot bersahaja, kacamatanya memberi efek teduh. Pun tak segan menyunggingkan ulas ramah, membalas sapaan dengan ringan, juga sibuk memilih antara tumis hati ayam atau udang asam pedas di nampan saji. Gerak-geriknya tak terusik kendati menimbulkan kedip heran dari sekitar. Apa ini betul-betul versi dewasa dari pemuda bertensi tinggi yang gampang tersulut oleh sebuah julukan?
.
"Seokjin."
"Oh, hai! Moonbyul?"
"Benar, masih mengingatku?"
"Tentu saja, kamu yang selalu sibuk menulis di papan tiap Pak Guru selesai memberi tugas. Apa kabar?"
"Baik, sangat baik."
"Kepang rambutmu cantik."
"Te, terima kasih."
.
Itu cuma sebuah contoh, jika penonton menganggap Moonbyul, mantan sekretaris kelas yang melewati Seokjin dengan tersipu setelah mengucapkan sampai jumpa, adalah kebetulan.
.
"Hei, tukang bolos."
"Ya ampun, Byun. Aku hampir menumpahkan saus! Bagaimana kabarmu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SHUAI | HANDSOME (NamJin)
Fanfiction[BTS - Namjin/Monjin] Namjoon tak pernah terlalu religius, apalagi memperdulikan kehakikian asal semesta. Namun jika diperbolehkan mengetahui sesuatu dari sang penguasa jagat raya, Namjoon akan memilih untuk bertanya--tentang bagaimana seorang Ki...