20. Piece of Peace

4.6K 523 41
                                    

.

"Keluarga yang menyenangkan."

"Oh ya?"

Melankolis, tapi bukan tanpa alasan. Mungkin karena secangkir cokelat hangat di tangannya, mungkin karena menu makan malam yang istimewa, atau mungkin karena adanya tamu yang sangat berharga, hingga Seokjin berpikir bahwa permukaan anak tangga di teras rumah terasa lebih nyaman dari biasa, kendati sejujurnya tak ada yang berubah. Keduanya hanya bersila sekedarnya, masing-masing memegang cangkir. Namjoon memilih kopi, ditemani seekor Alaskan jantan milik kakak lelaki Seokjin yang tak henti-hentinya minta dielus dan menggosok-gosok senang paha Namjoon memakai kepala. Sungguh kondisi sempurna yang membuatnya tak ingin beranjak kemana-mana.

Tak banyak yang dipersiapkan malam itu, toh Namjoon berkata dia menerima segala bentuk santapan gratis. Keluarganya sudah mengurus hidangan dan sisa detilnya, termasuk gotong-royong bebersih ke penjuru rumah. Seokjin hanya disuruh ibunya merapikan kamar tamu karena—siapa sih yang tidak antusias menyambut teman dekat yang datang berkunjung? Seokjin lebih suka menyebut seperti itu daripada menganggap Namjoon seorang kekasih. Terdengar geli di telinga dan terlalu intim untuk sesuatu yang nyatanya berjalan bak kegiatan sehari-hari. Mereka bahkan lupa kapan persisnya berkenalan, dekat berapa lama, maupun hal-hal sakral seperti ciuman pertama.

Semua terjadi secara alami, natural.

Namjoon tak pernah menjemputnya setiap pagi dan Seokjin enggan didatangi saat berangkat kuliah, selain buang-buang tenaga, juga karena tetangga apartemennya selalu berseru heboh tanpa sebab dan kerap meladeni kehadiran Namjoon dengan lagu India. Namjoon jarang bertanya apakah dia sudah makan atau belum, dan Seokjin menganggap jika hal tersebut bukanlah sesuatu yang perlu dipermasalahkan. Namjoon baru akan mengajaknya keluar bila Seokjin berkata dirinya sedang ingin makan kudapan. Dan ya, itu bukanlah kencan. Namjoon tak datang ke apartemen setiap hari seperti pacar kebanyakan, pemuda itu hanya sesekali mampir untuk mengantar buku-buku yang diperlukan Seokjin di perkuliahan. Sebaliknya, Seokjin datang ke tempat pria itu apabila Namjoon minta dibantu menghabiskan makanan kiriman ibunya dari Ilsan.

Hampir tak pernah ada acara kecup mesra atau bibir memagut lama. Satu-dua kali Namjoon sengaja menggandeng tangannya karena tak ingin Seokjin berjalan di bagian trotoar yang berbatasan langsung dengan jalan, juga menggendongnya saat Seokjin terlalu ngantuk untuk menggapai tempat tidur usai belajar bersama. Jika Seokjin berniat menikmati waktu berdua atau sedang ingin bermanja-manja, Namjoon dengan senang hati memberi ruang kosong di sisi sofa, mengelus sayang kepalanya tanpa banyak bicara, atau membiarkan Seokjin bersandar begitu saja di bahunya.

Ayahnya tertawa saat Seokjin mulai bercerita, bahwa Namjoon kadang terlalu kolot dan polos, terutama soal kebiasaan berdoa sebelum makan. Panggilan keduanya pun sebatas nama kecil tanpa imbuhan layaknya pasangan pada umumnya. Apabila Seokjin memilih bergumam sewajarnya ketika pertama kali menyebut 'Namjoonie,' maka tidak begitu halnya dengan si pria jangkung yang langsung bersimpuh di lantai sambil berkali-kali meminta maaf karena menghilangkan kata –hyung di belakang namanya.

Namjoon, yang duduk menghadapi mangkuk sup kacang merah sewaktu Seokjin berkisah di meja makan, hanya bisa tersenyum dan mengibas tangan sungkan, lalu tanpa ragu menyebut dirinya kurang berpengalaman.

Kakaknya tertarik mendengar banyak cerita dari tempat bimbingan belajar, supermarket, toko bunga, kantor penerbitan koran, hingga menanyakan segala tempat dimana Namjoon pernah bekerja sambilan. Sementara ibunya begitu gembira memperoleh informasi tentang jadwal diskon besar yang diselenggarakan suatu pusat berbelanjaan, berikut daftar tanggal-tanggal tertentu dimana daging sapi akan turun harga sesuai musimnya, juga bagaimana cara menawar tanpa perlu berargumen panjang dengan penjualnya. Dan meskipun Seokjin berpikir bahwa pembicaraan di meja makan itu terdengar bagaikan inspeksi tak penting tentang ketertarikan keluarganya pada latar belakang Namjoon, wajah ceria dan raut cerah bersama jawaban-jawaban yang meluncur tanpa beban itu mengisyaratkan jika semuanya baik-baik saja.

"Sepertinya ibuku suka padamu," celetuk Seokjin disambut kelakar renyah, "Rasanya bodoh sekali karena aku sempat panik untuk hal yang tidak seharusnya dikhawatirkan."

"Aku sudah bilang kau tak usah berpikir terlalu jauh," Namjoon menaruh cangkir kopinya agak jauh dari tangga, "Biarpun Yoongi-hyung selalu memasang wajah galak waktu bertemu denganku di kampus, kurasa dia hanya ingin berpesan kalau sahabatnya harus dijaga. Hanya mengingat soal itu saja sudah membuatku merasa lebih tenang."

"Kenapa?"

"Jika seorang teman saja bisa begitu sayang padamu, apalagi keluarga kan?" sergah pria itu, tak ingin dijawab, "Mungkin kau bermaksud menegaskan kalau usiamu lebih tua dan tak perlu dikawal kemana-mana, Jinseok. Tapi kurasa tak ada salahnya menganggap temanmu benar-benar memiliki perhatian walau caranya sedikit mengerikan."

"Seseram itu?"

"Bisa kumengerti. Kau dibesarkan untuk memperoleh kasih sayang serupa dengan limpahan perhatian dari semua orang, bukan untuk menerima sakit hati apalagi dikecewakan."

Melengos, Seokjin menyesap minumannya sekilas, "Bertemu keluargaku sehari membuatmu jadi jauh lebih bijaksana daripada motivator kawakan ya, Namjoonie?"

"Terima kasih, aku tersanjung," kekeh Namjoon menimpali sindiran, "Keluargamu hangat, tak berpura-pura bersikap ramah dan membuatku kangen rumah. Mereka meladeni kehadiranku seperti teman, juga tak berlebihan memanjakanmu meski seorang bungsu. Rasanya sedikit bersalah jika aku tiba-tiba meminta ijin pada mereka untuk mengajakmu tinggal bersama."

Menurunkan lengannya dari bawah dagu, Seokjin mengerjap terkejut, "Eh?"

"Bukan besok, bukan bulan depan, tidak dalam lima bulan," Namjoon meniup pelan uap kopi yang menguar samar. Ibu jarinya mengusap tepi cangkir sebelum menoleh sambil tertawa canggung, tengkuknya digosok kaku dan lesung pipinya melekuk tersipu, "Tapi jika waktunya tepat, persiapanku sudah betul-betul mantap, dan aku berani bertanya tentang apakah lelaki kesayanganku ini bersedia, kuharap kau mau berkata iya."

Meresapi perubahan air muka dan kalimat yang diucapkan dengan nada serupa ajakan biasa saat ingin mencicipi penganan di luar rumah, Seokjin meluruskan tungkainya sambil menghela napas dan berpaling ramah, suara lembutnya terlontar tegas dan lugas. Sangat jelas.

"Boleh kutunggu?"

"Tentu saja."

Dan keduanya tertawa bersama.

.

.

SHUAI | HANDSOME (NamJin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang