27. PORRIDGE

4.5K 510 56
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.

Semuanya terjadi begitu cepat, menilai dari kesigapan otak Seokjin yang mungkin sudah kusut usai begadang menyelesaikan pekerjaan semalam suntuk. Tahu-tahu saja dia sudah menarik pemuda itu keluar dari pintu kafe, mencegat taksi—meski tahu bahwa halte terdekat hanya berjarak selemparan batu, bergeming mengacuhkan sejumlah pertanyaan yang terlontar untuknya, juga sengaja memberikan mantelnya pada pemuda itu dengan nada setengah mengancam.

"Kalau tidak dipakai, kuturunkan di tengah jalan!"

Sejatinya Seokjin tak berniat membentak, tapi untungnya Namjoon mengiyakan tanpa banyak berkomentar. Sesekali terbatuk, menyusut hidung, kemudian hendak membuka mulut lagi saat Seokjin menyela di belokan lampu merah.

"Kita ke apartemenku," tukasnya datar, "Aku akan merawatmu sampai sembuh."

"Eh?"

.

.

.

Beberapa saat sebelumnya

.

.

.

"Pulang cepat? Hari ini?" Seokjin meletakkan cangkir kopi sambil mengerenyit, meneliti wajah pemuda yang sedang membuka tirai di hadapannya. Cermat, dari rambut menuju dagu. Tidak biasanya Namjoon terlihat sepucat itu, "Kamu sakit?"

"Semalam dia meneleponku, katanya sih kurang enak badan. Tuan Song bilang boleh ambil ijin sampai agak baikan. Tapi si bengal ini ngotot masuk kerja padahal badannya panas," Hoseok mengelap cangkir-cangkir kosong di balik meja konter. Dagunya maju menuding rekan yang memasang muka tak berdosa, walau jelas-jelas menapak setengah terhuyung. Bukan pemandangan asing bagi Hoseok, tiap mendapati Seokjin bersiaga di depan tempat kerjanya tiga puluh menit sebelum jam buka. Pria itu tak begitu menyukai keramaian, dan pemilik kafe tidak keberatan memasukkan seorang pengunjung lebih awal. Namun setelah beberapa minggu mengamati bagaimana cara Seokjin menatap salah satu peracik minuman, Hoseok merasa jika alasan 'tak menyukai keramaian' seperti yang tersebut di atas, bisa saja cuma karangan. Apalagi sepanjang yang bisa diingatnya, Seokjin selalu duduk di kursi yang sama, posisi serupa di dekat jendela, lurus pada meja tempat Namjoon bekerja, dan selalu membaca majalah secara terbalik begitu dihampiri.

Baiklah, kembali ke topik semula, batin Hoseok, mengibas kepalanya sekilas seraya merapikan deretan cangkir di atas nampan. Singkat cerita, hari ini pun sama. Seokjin beserta kegiatan mengintai favoritnya yang sudah diketahui seantero ruangan. Mengecualikan kondisi kesehatan Namjoon yang sedang kacau, tentu.

"Sudah dong, kamu tak perlu menyeka meja juga! Biar nanti Jackson yang mengerjakan, toh ini bukan hari Senin!" telapak tangan Hoseok berayun maju mundur, "Lebih baik duduk dulu dan sarapan."

Alis tebal Seokjin terangkat sebelah, "Dia belum makan?"

"Aduh Seokjin-sshi tidak tahu ya? Namjoon tidak pernah makan pagi, biasanya cuma membawa kimbap dari minimarket atau memesan roti di toko seberang sana," jawab Hoseok diselingi kekeh riang. Dahi Seokjin sontak berkerut-kerut. Dia boleh kalah cepat dalam urusan mengenal Namjoon dibanding orang lain, namun mendengar kalimat tersebut diucapkan dengan jumawa oleh pemuda hiperaktif yang menurutnya hanya teman kerja, membuat Seokjin ingin menjejalkan sendok kopinya ke mulut Hoseok.

SHUAI | HANDSOME (NamJin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang