" Beberapa hal sederhana akan menjadi rumit ketika kita mencampurinya dengan perasaan, dan aku benci hal itu"
◾◾◾Ashvath berbalik, diikuti oleh Gaelen. Mereka baru ingin berjalan ketika sebuah suara yang sontak menghentikan langkah kaki mereka.
"Tunggu"
Beryl menghentikan acara makannya, memandangi seseorang yang baru saja berbicara. Sedangkan Anson juga menghentikan kegiatannya menyuap bakso ke dalam mulutnya, berusaha terlihat sesantai mungkin, meski dia penasaran apa yang akan dikatakan orang itu selanjutnya. Anson sadar diri untuk tidak menanyai terlebih mencegah apa yang akan terjadi. Dia belum pantas untuk melakukan hal itu.
"Terima kasih" ujar Lora. Terdengar tulus.
Gaelen hanya diam, tidak mengangguk terlebih membalas ucapan Lora. Dia hanya memandang Lora, sebelum akhirnya berbalik. Meninggalkan kantin, dikuti oleh Ashvath.
Lora hanya menghela napas. Dia tak ingin terlalu larut dengan apa yang terjadi. Dia memandang novel yang tadi Gaelen kembalikan padanya, tanpa berniat untuk menyentuh novel itu. Kemudian perhatiannya teralih kepada semangkok bakso yang tadi dibawakan Anson untuknya dan Beryl.
Lora baru makan dua suapan ketika tiba-tiba sebuah sendok bergerak mengambil sebuah bakso berukuran besar dari mangkoknya. Dengan tatapan tak percaya dia memandang orang yang berani-beraninya mengambil baksonya.
"Tak cukupkah kamu menginjak sepatuku tadi Anson?" tanya Lora pada Anson yang sekarang sedang santainya memakan bakso hasil curian dari mangkok Lora.
"Kamu makan terlalu lama, jadi aku tergoda untuk mengambil bakso di mangkokmu Ra" ujar Anson selepas memakan bakso Lora.
"Kamu benar-benar yang pertama Anson" gumam Beryl yang masih bisa di dengar oleh Anson dan Lora.
"Apanya?" tanya Anson bingung. Sedari tadi Beryl terus mengatakan tentang Anson yang pertama.
"Aku tak pernah melihat Lora yang dengan cepat akrab dengan seseorang sekarang. Terlebih jika dia laki-laki" jelas Beryl seraya meletakkan sendoknya ke dalam mangkoknya yang sudah tak berisi. Dia telah menyelesaikan makannya.
Tiba-tiba suasana di sekeliling mereka sunyi. Lora bungkam, dia hanya memandangi mangkok baksonya yang isinya tinggal setengah. Beryl benar, tidak seharusnya dia secepat itu akrab dengan orang yang baru dikenalnya. Terlebih orang itu laki-laki. Lora mengaduk kuah baksonya, perkataan Beryl terngiang-ngiang di kepalanya. Dia hanya merasa bahwa Anson dan dirinya mempunyai satu persamaan, dan mungkin karena hal itu Lora bisa lebih membuka diri kepada Anson.
Bahkan ketika mereka meninggalkan kantin, Lora tetap bungkam. Beryl sadar akan hal itu, bukannya dia egois dengan cara tak membiarkan orang lain menjadi teman Lora. Lora dulu tak seperti ini. Semua berubah sejak saat itu. Dia hanya tak ingin Lora kembali jatuh.
Anson juga ikut diam. Namun sesekali dia memandangi Lora yang berjalan di sampingnya. Dia turut memikirkan perkataan Beryl. Apakah dia harus menjauh sekarang? Ketika dia perlahan mulai dekat dengan orang lain?
Di saat mereka larut dalam pikirannya masing-masing, Lora menghentikan langkahnya.
"Aku ingin ke toilet, kalian duluan saja" ujar Lora kepada Anson dan Beryl.
"Mau kutemani?" Beryl bertanya, namun hanya gelengan yang di dapati dari Lora. Kemudian Lora pergi meninggalkan mereka, dia berjalan menuju toilet.
"Apa maksudmu mendekati Lora?" tanya Beryl ketika mereka berjalan.
"Aku ingin menjadi temannya" jawab Anson, setidaknya, lanjutnya dalam hati.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kembali [T A M A T]
Teen FictionIni tentang Lora. Seorang gadis yang hanya ingin hidup dengan damai di SMA. Menjalani kehidupan biasa yang melibatkan orang biasa. Namun, karena seorang cowok yang tiba-tiba datang dalam kehidupannya, rasa biasa yang selama ini membuat Lora nyaman...